Mohon tunggu...
abdul malik
abdul malik Mohon Tunggu... pegawai negeri -

(sudah bukan) seorang pns di negeri indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika Buya Ditangkap

12 Agustus 2010   06:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:06 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 1966, bersamaan dengan hancurnya kekuasaan PKI dan pemerintahan Soekarno, Buya Hamka dibebaskan.  Semua tuduhan pada dirinya dihapuskan.  Setelah peristiwa itu, tak pernah terdengar Buya menuntut balas atas kezaliman yang telah dialaminya.  Dalam pendahuluannya untuk Tafsir Al-Azhar, Buya mengatakan bahwa kejadian itu sangat besar hikmahnya, karena tafsir yang hanya selesai sedikit setelah dikerjakan bertahun-tahun ternyata bisa tuntas dalam masa dua tahun di penjara.  Di penjara itu pula Buya mendapat banyak waktu untuk melahap buku-buku yang ingin dibacanya, dan larut dalam ibadah shalat malam dan tilawah.  Buya hidup seperti biasa, tanpa memendam dendam, bahkan sampai membuat anaknya, Rusydi, merasa gemas bukan kepalang ketika beliau menitikkan air mata ketika mendengar Soekarno telah wafat.  Banyak orang memintanya agar tidak menshalatkan Soekarno, akan tetapi beliau pergi juga, bahkan menjadi imam shalat jenazahnya.  Begitulah Buya Hamka.

Dari masa ke masa, gerakan Islam memang seringkali dipandang sebagai ancaman oleh penguasa.  Alasannya adalah tauhid itu sendiri, karena ajaran tauhid menghendaki setiap manusia diberi kemerdekaan dan tidak tunduk pada siapa dan apa pun, kecuali kepada Allah.  Sebaliknya, rejim penguasa yang lupa daratan biasanya ingin terus berkuasa secara absolut.  Ironisnya, ketika negara dalam keadaan bahaya, misalnya ketika mengusir penjajah, sentimen keislaman itulah yang paling efektif untuk dimanfaatkan.  Sebab orang Islam tak perlu diberi alasan panjang lebar untuk membela negeri tumpah darahnya sendiri.  Tak perlu diceramahi, tak perlu dipaksa-paksa, bahkan tak diberi senjata pun ia akan melawan, sebab jiwanya telah dimerdekakan oleh tauhid.

Apa yang pernah terjadi pada Buya Hamka perlu menjadi renungan kita bersama.  Banyak orang, baik yang sejalan atau berbeda pandangan dengan beliau, yang sangat terkejut mendengar kisah pengalaman beliau di penjara.  Betapa ganjilnya tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya, dan betapa tidak pantas siksaan-siksaan yang telah (dan nyaris) dialaminya.  Hamka bukan tipe provokator, bahkan beliau tak pernah punya reputasi bertemperamen tinggi sebagaimana ayahnya dulu.  Semua orang mengenalnya sebagai pribadi lembut yang tidak suka membesar-besarkan masalah, lebih suka bekerja sama daripada berdebat, dan lebih suka mengalah daripada memperpanjang masalah.  Sudah barang tentu semua orang pun paham bahwa tuduhan subversif kepada Hamka adalah dagelan belaka.

Bagaimanapun lembutnya Buya, hal itu terjadi juga padanya.  Betapa pun lembutnya ajaran beliau, tetap saja dituduh subversif.  Tentu saja ini bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan cara-cara kelembutan dengan mengatakan bahwa cara-cara tersebut telah terbukti gagal dalam kasus Buya Hamka.  Memang jalan kelembutan itulah yang dikehendaki Islam, dan gerakan Islam harus terus waspada atas fitnah yang dihembuskan orang kepadanya.  Jika kepada orang tua seperti Buya Hamka pun mereka tega menyiksa dengan setruman (walaupun tidak jadi dilakukan), bisa dibayangkan hal kejam semacam apa yang bisa mereka lakukan kepada para pemuda.

Sejarah telah membuktikan bahwa seringkali penegak keadilan itulah yang membengkokkan keadilan.  Kalau sudah demikian, rumit sekali masalahnya.  Kini, reputasi kepolisian sudah semakin memprihatinkan.  Ketika orang disuruh menghentikan kendaraannya, misalnya, banyak yang tidak lagi merasa bersalah dan pantas ditilang, melainkan hanya memaklumi bahwa polisi yang menghentikannya sedang mencari tambahan penghasilan.  Benar-tidaknya pandangan ini memang kasuistik sifatnya, namun stigma negatif semacam itu memang telah melekat pada kepolisian.  Tidak heran jika banyak yang curiga bahwa yang dialami oleh Buya Hamka dulu itulah yang kini sedang dialami oleh sebagian aktifis Muslim yang dituduh teroris.  Aksi-aksi terorisme di Indonesia, menurut sebagian rakyat Indonesia, tidak lebih dari rekayasa intelijen.  Tidak jauh beda dengan fitnah yang dialami Buya dahulu.

Di sisi lain, sebagian media massa pun telah bertindak tidak adil.  Sementara peradilan belum dijalankan, label teroris telah diberikan.  Sungguh menarik, betapa cepatnya media percaya pada keterangan polisi (padahal keterangan penyidik bukanlah vonis hukum) dalam kasus-kasus terorisme, sedangkan dalam kasus-kasus lain seperti skandal Bank Century, mereka cenderung berkeyakinan bahwa kepolisian telah bertindak tidak jujur.

Kita, sebagai umat Islam, harus pandai memetik hikmah dari sejarah panjang ini.

sumber : http://akmal.multiply.com/journal/item/801

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun