Mohon tunggu...
Abdy Jaya Marpaung
Abdy Jaya Marpaung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lihat, dengar, nulis

laki-laki yang senang berbagi cerita lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Di Tuk-tuk, Malu Pacaran Hidup Sendirian

9 Agustus 2010   05:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:12 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_220315" align="alignleft" width="300" caption="Tuk Tuk, mengakrabi danau toba dari Samosir"][/caption]

Badan saya masih ngilu saat itu. Tapi begitu melihat danau raksasa dari jalan Tele, rasa penat berganti menjadi rasa senang luar biasa. Sebentar lagi saya akan merasakan sejuknya air danau terbesar dan terindah di Indonesia ini. Tapi tentu saja kami harus melalui jalanan berkelok-kelok dulu untuk sampai ke sana.

Sebenarnya tujuan kami adalah Pulau Samosir, pulau yang berada di tengah-tengah Danau Toba. Di Pulau Samosir ini kabarnya banyak tempat bersejarah mengenai adat istiadat dan budaya masyarakat suku batak. Bagi saya, ini tentu saja istimewa karena saya sendiri adalah orang batak, tapi jangan dilihat dari namanya, karena nama saya sedikit kejawen.

Mobil yang kami tumpangi meliuk liuk seperti ular. Berselisihan dengan bus Sampri dan deretan rumah yang bekejar-kejaran. Saya juga sempat terkikik saat melihat spanduk iklan rokok yang terbentang bertuliskan "Malu bertanya sesat di jalan, malu pacaran hidup sendirian." Kena deh...

[caption id="attachment_220361" align="aligncenter" width="300" caption="spanduk provokasi supaya pacaran, weleh"][/caption]

Kami akhirnya tiba di Tuk-Tuk, sebuah daerah di pulau Samosir itu yang banyak disinggahi turis, hotel dan berbagai penginapan begitu banyak disana, dan kami memilih sebuah guesthouse yang letaknya bersisian dengan Danau Toba. Jadi kami leluasa menatap birunya air danau dan pulau yang tertancap didasarnya. Jika ingin merasakan sejuk airnya, tinggal loncat saja.

Di Tuk-tuk ini ternyata cukup banyak bule yang menikah dengan penduduk setempat, bahkan guest house yang kami tinggali itu dimiliki oleh seorang perempuan bule Jerman. Ia menikah dengan laki-laki setempat bermarga Manurung dan akhirnya membuka bisnis penginapan dan kapal feri. Saya lupa namanya, tapi saya sangat salut dengannya karena ia menguasai bahasa Batak terutama untuk percakapan sehari-hari, bahasa Inggris dan Jerman tentu saja. Saya jadi sangat malu, ngaku orang batak tapi tidak bisa berbahasa batak. Duh, ironis.

Dari diskusi-diskusi dengannya suatu sore. Ibu itu ternyata menyukai sejarah batak, itulah kenapa 30 tahun yang lalu sampai sekarang ia begitu mencintai tanah batak. Sebagai buktinya, ia menunjukkan kami dua buah buku mengenai sejarah Batak yang ditulis oleh peneliti Batak berkebangsaan Jerman. Satu buku dalam bahasa inggris dan satunya lagi ditulis dalam bahasa jerman. Kedua buku itu dibawanya dari Jerman. Adakah kedua buku ini di Indonesia? Wallahua'lam. Saya saja begitu terkejut dengan isi di buku itu. Saya jadi tahu ternyata begitu banyak produk budaya batak kuno yang bersemayam di museum Belanda dan Jerman dan mungkin tidak akan kita temukan di negeri kita sendiri.

[caption id="attachment_220328" align="aligncenter" width="300" caption="dua buah buku mengenai sejarah batak yang ditulis peneliti Jerman"][/caption]

Ngomong-ngomong soal Jerman dan Batak, memang ada keterkaitan antara keduanya. Jika pernah mengenal sosok Nommensen, dialah seorang tokoh yang menyebarkan ajaran Kristen ke tanah batak pada tahun 1881 yang dulu masih menganut animisme. Lewat jasa-jasa Nommensen inilah Kristen semakin meluas di Propinsi Sumatera Utara khususnya di Tanah Batak. Di Sumatera Utara, Nama Nomensen diabadikan menjadi nama sebuah Universitas di Kota Medan, Universitas Nomensen.

Jika belum pernah ke Tuk Tuk, saya mau sedikit berbagi apa yang saya lihat dan rasakan selama di sana;

  1. Tuk Tuk penuh dengan akomodasi seperti hotel, cottage, guesthouse, restoran dan tempat penjualan souvenir khas batak. Saat di sana, kami menginap dua malam di sebuah hotel yang memasang tarif Rp. 100.000/kamarnya
  2. Di Tuk Tuk, harga souvenir cukup mahal, mungkin karena begitu banyak bule disana, jika anda tidak ingin kocek cepat bolong, belanja souvenir di Tomok saja, harganya bisa lebih murah 10x lipat dari harga di Tuk Tuk. Produknya juga sama kok.
  3. Kalau ingin menikmati panorama Tuk Tuk, bisa dengan berjalan kaki atau naik sepeda, disana juga tersedia penyewaan sepeda dan sepeda motor. Teman saya dikenai tarif Rp 25.000 untuk pemakaian sepeda dari pukul 07.00 - 17.00 wib. Murah bukan?
  4. Mandi pagi di Danau Toba memang mengasyikkan, biasanya pada pagi hari airnya tidak sedingin pada waktu sore. Saya dan teman-teman pernah ditegur sama bule yang merasa terganggu tidur paginya karena kami begitu berisik saat beraksi, nyebur pake teriak-teriak. Salah sendiri, udah pagi kok masih tidur. Kami acuhkan aja tuh bule.

kalau ingin mandi di danau toba ini harus pandai berenang, danaunya dalam sodara sodara peta wisata samosir

Tuk Tuk menjadi tempat pertama yang kami singgahi saat itu. Masih banyak tempat lain yang menawarkan keindahan untuk dinikmati. Tomok, Parbaba, Batu Sidang Siallagan, adalah beberapa tempat yang sempat saya singgahi dan masih di kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir, kenangan di tempat itu suatu hari akan saya tuliskan juga di blog ini (kalo gak malas dan lupa)...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun