Mohon tunggu...
Abdy Jaya Marpaung
Abdy Jaya Marpaung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lihat, dengar, nulis

laki-laki yang senang berbagi cerita lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sulitnya Menjadi Sahabat

4 Mei 2010   13:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:25 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_133107" align="alignleft" width="300" caption="jangan pernah putuskan tali persahabatan..."][/caption] Banyak kisah tentang sahabat mulai dari kebaikannya, pengorbanannya dan kepentingan pribadi yang rela ia korbankan untuk sahabat terdekatnya. Namun aku sebagai sahabat (kalau dianggap sahabat) untuk sahabatku, telah melakukan sesuatu yang membuat rasa penyesalan itu belum juga pudar sampai sekarang. Ini bukan soal cinta segitiga atau soal lebih memilih pacar atau sahabat, kalau soal itu barangkali sudah lumrah dan hampir setiap orang pernah mengalaminya. Ini lebih dari sekedar makna persahabatan, bahkan sebagian orang mengukur pantas tidaknya ia menjadi sahabat itu lewat peristiwa semacam ini. Adalah seorang sahabat dekat, sangat dekat malah karena setiap hari makan bersamanya, tidur di kamar yang sama, bekerja di tempat yang sama dan punya kebiasaan yang sama yaitu... suka baca kompasiana. Peristiwa itu dimulai saat sahabat kehilangan orang yang sangat ia sayangi, yang telah membesarkannya lewat keringat, darah dan airmata. Ibunda tercintanya berpulang ke zat pemberi kehidupan. Sebelumnya, sahabat mengambil izin dari kantor untuk pulang, menemani hari-hari ibundanya dirawat di rumah sakit hingga mengantarkan ibunda menjalani sakaratul maut dengan doa dan munajat sebagai anak yang shalih. *** Azan subuh belum berkumandang. Tapi hpku sudah berderik jangkrik. Tidak pernah handphoneku bunyi sedini ini. Kulihat sebuah pesan dari sahabat. Innalillahiwainnailaihi rajiun... Sahabat mengabarkan kepergian ibundanya. Dadaku sesak. Secepat itukah sahabat harus kehilangan ibunda. Namun aku tidak akan bertanya kepada-Nya karena itulah rahasia Sang Pemberi Nafas Kehidupan. Aku membalas pesannya dengan ucapan belasungkawa dan mendoakan ibundanya. Sebenarnya ingin menelponnya, tapi aku mengurungkan niat itu karena sahabat tentu masih sangat berduka. Seperti aku yang juga pernah kehilangan paman yang sangat baik sekali pada keluargaku. Saat itu aku tidak mau untuk mengangkat telepon dari siapapun karena disibukkan dengan fardhu kifayah. Siang hari setelah menyantap setumpuk tugas kantor, aku mengusulkan pada pimpinan agar kami semua bertakziah ke rumah sahabat.  Namun sayangnya pimpinan menanyakan tugas-tugasku esok hari. Ya, lusa ada workshop yang diikuti beberapa ornop, aparatur pemerintah, aparatur desa hingga mahasiswa dan ada tanggungjawabku disitu. Saat itu aku hanya tertunduk diam sambil meringis dalam hati. Pimpinan lalu berkata seolah mengizinkan aku dan akan memikul beban kerjaku jika aku ‘membandel'. Tentu saja aku jadi lebih meringis lagi. Aku tau di kantor hanya tinggal aku dan pimpinan yang menyiapkan workshop, sedangkan empat rekan kerja yang lain di luar kota dengan urusan cuti dan tugas sendiri. Salah juga kalo aku tidak memikul tanggungjawabku. Aku dilema. Ada dua kepentingan yang kuanggap dua-duanya sama penting, antara membesuk sahabat yang sedang berduka dengan tanggungjawab pekerjaan besok dan lusa. Sebenarnya aku ingin menjadi sosok yang benar-benar bisa dikatakan sebagai sahabat. Kata orang bijak, sahabat sejati itu adalah seseorang yang selalu bersama kita dalam suka dan duka. Tapi aku belum menemukan itu pada diriku. Saat sahabat sepembaringan kehilangan ibundanya, aku pun tak bisa berada disisinya. Seorang teman mengungkapkan alasan untukku. Jarak dari tempat pekerjaan dengan rumah sahabat cukup jauh, untuk sampai kesana harus menempuh perjalanan darat lebih kurang 12 jam. Sementara tanggungjawabku sedang menanti dan tidak ada yang bisa menggantikan aku saat itu. Penjelasan singkatnya belum juga membuatku tenang. Bagaimanapun dia itu sahabat dekat. Apa yang ada difikirannya jika aku tidak menjenguknya. Walau dia menganggapku bukan siapa-siapa, tapi aku sudah menganggapnya sebagai sahabat. Apalagi aku dan sahabat sudah empat tahun bersamanya mengadu nasib dan mencicipi pahit manis perantauan. Kini rasa penyesalan itu belum juga raib. Walau sahabat sudah beraktivitas lagi bersamaku, rasa penyesalan itu masih berbekas. Entahlah... aku tetap tak bisa melupakan perkataan salah satu teman yang bijaksana. Dia bilang, "kalau kau mau tau seberapa nilai persahabatan dari sahabatmu, lihatlah saat kau sedang ditimpa musibah, apakah dia ada untukmu... janganlah lihat yang datang pada saat engkau merayakan sebuah pesta..." Semoga kita bisa menjadi sahabat sejati untuk sahabat kita dalam kondisi apapun dan kapanpun...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun