Tulisan yang sedang anda baca ini, memang bukan berasal dari orang yang telah mampu menulis karya-karya ilmiah atau seorang yang terlatih secara khusus untuk menulis sebuah karangan apatah lagi dari seorang ilmuan yang memiliki spesifikasi ilmu tertentu. Tulisan sedarhana ini hanyalah sebuah refleksi dari seorang pemerhati mengenai masalah-masalah yang ditelorkan oleh segelintir orang yang berfikiran “kolot“ dengan cara mengeksploitasi issue SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) demi merebut simpati rakyat di ajang kontestasi Pilkada Serentak 2020.
Issue yang dimainkan oleh kelompok “sibul” (artinya, tidak berisi/kosong) ini, adalah issue seputar “putra daerah“ dan issue-issue sektarian lainya yang dikemas dengan dalil-dalil dho’if sebagai argumentasi pembenaran, ditafsirkan secara subjektif untuk kepentingan segelintir orang. Entah kenapa gagasan “baheula“ (pola pikir zaman primitif) ini kemudian kembali muncul ketika kita hidup dalam NKRI yang dibingkai dengan falsafah Pancasila dan Bhineka Tuggal Ika. Anehnya, issue ini terlontar dari mulut orang-orang yang konon katanya “intelektual“, nan berubah menjadi “intau no-tolol” (artinya, orang yang bodoh).
Tehnik propaganda dan marketing politik ala "cabo" yang cenderung primordial dan sektarian ini, jelas hanya akan merusak bangunan demokrasi dan tatanan kehidupan sosial-politik yang sudah menjadi konsensus bersama dalam bernegara. Issue putra daerah misalnya, jika dipahami secara buta akan melahirkan semangat rasa kesukuan yang berlebihan. Sehingga dalam melihat persoalan cenderung perspektif-subjektif dan manipulatif-persuasif. Kemudian munculnya pemahaman “etnosentrisme” (meganggap diri paling baik) yang kemudian mempersonifikasi-kan diri berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Akhirnya, terlegitimasilah sikap ujub, fanatis dan diskriminatif yang bersebrangan dengan “basic rules“ atau aturan dasar yang berlaku di negara.
Jika merujuk pada peraturan perundang-undangan, sungguh tak ditemukan aturan yang menjelaskan bahwa untuk menjadi calon kepala daerah adalah harus putra daerah atau agama tertentu. Dan jika ada yang menambahkan syarat, harus putra daerah atau syarat-syarat lainnya kedalam kriteria calon kepala daerah, maka secara langsung kita melanggar aturan dasar konstitusi yang menyatakan; “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualiannya” (Pasal 27 ayat 1 UUD 1945).
Mengenai kepala daerah, secara umum telah diatur dalam UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan mekanisme pemilihan kepada daerah dan syarat-syarat untuk menjadi calon kepala daerah, diatur dengan jelas dalam UU 8 tahun 2015 tentang Pilkada yang kemudian tiga kali pengalami perubahan yakni; UU 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 1 tahun 2015 tentang PERPPU 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. UU 6 tahun 2020 tentang Penetapan PERPPU 2 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU 1 tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Agar tidak terkesan gagal paham tentang apa dan bagaimana persyaratan calon kepala daerah, silahkan buka dan baca semua peraturan perundang-undangan khusus Pilkada. Dimana dalam peraturan tersebut dikatakan bahwa calon kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota) adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan/atau bisa juga merupakan pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Dengaan demikian, untuk dapat menjadi calon kepala daerah syarat utamanya adalah orang tersebut adalah Warga Negara Indonesia , bertakwa kepada Tuhan YME, sebagaimana yang tertuang dalam UU 10 tahun 2016/UU 6 tahun 2020, dan dijabarkan lagi secara tegas lewat Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017.
Semua syarat-syarat calon kepala daerah yang tertuang dalam regulasi Pilkada, baik dari pasal ke pasal, dari point a hingga point z, tidak ada satu pun ketentuan kewajiban atau keharusan bahwa kepala daerah harus berasal dari daerah tertentu, atau harus putra daerah. Maka siapa yang menambah-nambahkan syarat-syarat calon kepala daerah diluar kaidah konstitusi, semisal; harus putra daerah, jelas itu adalah “bih’ah politik” dalam perkara khaidah politik hukum. Artinya; menambah-nambah sesuatu hal yang sama sekali tidak diatur atau yang diajarkan.
Pemahaman sesat yang tergolong dalam kategori “bih’ah dholalah“ (jauh dari prinsip-prinsip ajaran yang sebenarnya dan cenderung merusak) ini jika dibiarkan, apalagi menjadi issue kampanye menjelang Pilkada, bukan tidak mungkin doktrin yang mengandung unsur kekerasan simbolik dan kekerasan semiotik ini akan memicu tindakan spekulasi yang bisa melahirkan konflik horizontal. Maka, hal ini wajib diluruskan, dicerahkan dan disosialisasikan oleh penyelanggara pemilu maupun orang-orang yang masih berfikiran waras.
Klaim putra daerah atau issue sektarian lainnya jelas tak akan meraih simpati rakyat. Sebab rakyat Indonesia (khusunya Sulawesi Utara-Bolaang Mongondow Raya) adalah rakyat yang majemuk, kritis dan berfikiran maju. Justeru kelompok yang mengemas issue “pilih putra daerah“ akan menimbulkan antipati dan memunculkan beragam pertanyaan. Misalnya, apa esensi dari putra daerah itu? Apakah hanya mereka yang memiliki “clan marga“ yang layak disebut sebagai putra daerah, kemudian kita merasa lebih berhak menduduki posisi yang disebut “the number one“?. Ataukah klaim ini hanya dimiliki oleh mereka yang lahir, tinggal dan fasih berbahasa daerah, kemudian bangga menyandang gelar putra daerah?. Adakah jaminan bagi mereka yang mengaku putra daerah asli bisa membawa keadilan khususnya dalam kebijakan politik, ekonomi dan pembangunan?. Pertanyaan-pertanyaan diatas akan menjadi bumerang dan kegagalan dalam komunikasi politik dilapangan serta akan menjadi senjata makan tuan.
Dengan demikian, kesadaran konstitusi harus dibangun dan diperkuat karena bagaimana pun juga proses Pilkada merupakan suatu instrumen pembelajaran sekaligus pendidikan politik bagi rakyat untuk menjadi pemilih yang cerdas bukan menggiring rakyat keranah konflik SARA yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan demokratisasi.
Momentum Pilkada harus dilihat sebagai suatu proses dinamika sosial untuk mengkonversi suara rakyat menjadi legalitas sang kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan yang aspiratif dan akomodatif. Sehingga Pilkada harus dilihat sebagai upaya untuk mewujudkan karakter kepemimpinan yang handal, berintegritas, berkomitmen, dipercaya dan kompeten serta dapat memberi manfaat bagi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan partisipasi politik, maka setiap orang berhak mengajukan dirinya baik secara individu maupun kolektif, untuk dipilih baik sebagai Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota tidak dapat dihalangi karena tegas di jamin oleh konstitusi. Lihat dalam tafsir pasal 28 C ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (3).
Maka issue putra daerah dapat dikategorikan sebagai upaya menghalang-halangi, sekaligus menghilangkan kesempatan seseorang untuk turut berkompetisi secara fair dalam setiap kontestasi politik. Sebab yang dibutuhkan untuk seorang pemimpin adalah kualitas sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk itu, biarlah rakyat yang menentukan sikap sebagai hak konstitusinya dalam memilih pemimpin. Siapapun itu dan bagaimana pun latar belakangnya, yang terpenting memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H