Mohon tunggu...
Abdus Salam
Abdus Salam Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Ekonomi Ilmuan Muslim Kontemporer Madzhab Istishoduna

10 Oktober 2024   12:10 Diperbarui: 10 Oktober 2024   12:11 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan ekonomi Islam di masa modern muncul sebagai tanggapan terhadap ketidakpuasan terhadap teori-teori ekonomi klasik dari Barat. Salah satu tokoh penting dalam ekonomi Islam modern adalah Imam Baqir as-Sadr, yang melalui karyanya Iqtishaduna (Ekonomi Kita) menyatakan bahwa kapitalisme dan sosialisme tidak mampu menangani persoalan ekonomi global, terutama dalam hal ketidakadilan distribusi kekayaan.

Menurut as-Sadr, kapitalisme memiliki masalah utama, yaitu penekanan berlebihan pada kekayaan material dan sumber daya alam yang terbatas, yang memicu eksploitasi serta ketidakadilan sosial. Di sisi lain, sosialisme, dengan pendekatan ekonomi terpusatnya, sering kali menciptakan birokrasi yang kaku dan membatasi kebebasan individu, sehingga memicu konflik antara pemerintah dan masyarakat. Pendekatan ini juga sering gagal memahami kebutuhan lokal dan individual, sehingga menyebabkan ketidakpuasan di kalangan publik.

Ekonomi Islam menawarkan prinsip keadilan, pemerataan, dan solidaritas sosial sebagai dasar utama untuk mengatasi masalah distribusi yang tidak merata.

Istilah "ekuilibrium" atau "keadaan seimbang" berasal dari kata Arab "qashd," yang memiliki akar dari kata "iqtishad." Akibatnya, teori-teori ekonomi tradisional dianggap tidak relevan dan ditolak. Sebaliknya, tujuan dari aliran ini adalah mengembangkan teori-teori baru yang didasarkan langsung pada Al-Qur'an dan Sunnah. Pemikiran ini dipelopori oleh Baqir As-Sadr melalui karyanya yang terkenal, Iqtishaduna (Ekonomi Kita). Meskipun ekonomi dan Islam memiliki batasan masing-masing, ada perbedaan dalam cara pandang terhadap isu-isu ekonomi seperti kelangkaan. Baqir menolak pandangan tentang keinginan manusia yang tak terbatas karena adanya konsep utilitas marjinal dan hukum hasil yang semakin berkurang (Mubarok, 2021). Masalah utama adalah distribusi yang tidak merata dan ketidakadilan. Oleh karena itu, Al-Qur'an harus menjadi dasar pemikiran ekonomi. Karena kedua pandangan ini berasal dari mazhab ekonomi yang bertentangan, yaitu mazhab iqtishoduna, keduanya tidak dapat disatukan. Sangat penting untuk mengembangkan ekonomi Islam berdasarkan syariah, karena terdapat perbedaan mendasar dalam terminologi antara ekonomi konvensional dan pemikiran ekonomi berbasis syariah Islam.

Baqir al-Sadr dalam pemikirannya di Iqtishaduna menyatakan bahwa ekonomi perlu dipelajari dari dua sudut pandang: ilmu ekonomi, yang juga dikenal sebagai ekonomi positif, dan filsafat ekonomi, yang disebut sebagai ekonomi normatif. Sebagai contoh, teori permintaan dan penawaran dalam ekonomi positif menjelaskan hubungan antara tingkat harga dan jumlah barang yang diminta atau ditawarkan. Filosofi dan keyakinan esensial para filsuf ekonomi membentuk dasar ekonomi normatif. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap masyarakat memiliki ideologi, pandangan, dan kebiasaan yang berbeda. Inti dari pemikiran ini adalah bahwa masalah ekonomi yang muncul akibat distribusi yang tidak merata dan tidak adil, sering kali dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalis yang menguntungkan pihak yang berkuasa dan kaya.

Baqir al-Sadr juga menolak pandangan umum dalam ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa sumber daya alam terbatas, sementara kebutuhan manusia tidak terbatas. Menurutnya, Islam tidak mengakui konsep ini karena segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah sudah ditentukan kadarnya. Menurut Baqir, akar dari kesengsaraan ekonomi saat ini adalah keserakahan manusia, bukan kelangkaan sumber daya alam. Sumber daya akan selalu cukup jika manusia dapat menggunakannya dengan bijak. Mazhab Baqir juga mengadopsi beberapa sistem, seperti penyaringan saham-saham Islam menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif agar keuntungannya dapat didistribusikan kepada pemegang saham. Namun, ada kritik yang menyatakan bahwa mazhab ini terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengeksplorasi teori-teori ekonomi Islam yang sebenarnya sudah ada.

Tokoh-tokoh dan pemikiran mazdhab istishqoduna

Muhammad Baqr As-Sadr 

Baqir ash-Shadr adalah seorang pemikir modern. Nama lengkapnya adalah Ayatullah Sayyed Muhammad Baqir ash-Shadr bin Haidar ash-Shadr bin Isma'il ash-Sadr bin Sadr al-Din al-Amili (Ash-Shadr, 1994). Ia lahir pada 1 Maret 1935 Masehi, bertepatan dengan 25 Dzulqaidah 1353 Hijriah, di Kadhimiyeh, Irak (Ash-Shadr, 2001). Nama "Shadr" berasal dari nama kakek buyutnya, Shadr al-Din al-Amili (1847 M), seorang ulama Syiah Imamiyah. Baqir ash-Shadr merupakan keturunan dari Imam Musa al-Kazhim. Tidak mengherankan jika Baqir mengikuti jejak intelektual keluarganya, mewarisi tradisi keilmuan dan keimanan Syiah yang kuat. Ia menjadi yatim pada usia 4 tahun.

Pemikiran Ekonomi Baqir As Shadr

Beberapa topik yang tercakup dalam teori ekonomi Islam menurut Baqir Sadr, adalah sebagai berikut:

Definisi Ekonomi Islam (Usaha Penemuan Doktrin Ekonomi Islam)

Muhammad Baqir al-Shadr menggunakan istilah "iqtishad" () untuk menggambarkan pandangannya tentang Ekonomi Islam. Kata "iqtishad" menunjukkan makna penghematan atau kesederhanaan. Meskipun istilah ini dapat disandingkan dengan ekonomi, iqtishad tidaklah sama dengan ekonomi. Al-Shadr berusaha menegaskan bahwa Ekonomi Islam yang dimaksudnya berbeda dari ekonomi umum karena terdapat perbedaan antara ekonomi sebagai praktik dan teori ekonomi. Pendekatan serta tujuan penelitian yang membedakan ilmu ekonomi dari teori ekonomi (Ferdiansyah & Abadi, 2023). Ekonomi Islam lebih merupakan sebuah filosofi, bukan ilmu, karena Ekonomi Islam adalah cara pandang Islam dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sementara ilmu ekonomi berfungsi untuk memahami dan menjelaskan aturan serta kejadian ekonomi. Meskipun ada perbedaan antara keduanya, teori ekonomi dan ilmu ekonomi tetap terkait erat, karena yang membedakan hanyalah metode dan tujuan akhir, yang pada dasarnya bisa sama dalam kedua pendekatan tersebut.

Konsep Ekonomi Islam 

As-Sadr memiliki pandangan yang berbeda dari ekonom Muslim lainnya dalam memahami konsep dan sistem ekonomi Islam. Ia berargumen bahwa ekonomi Islam bukanlah disiplin ilmu, melainkan sebuah mazhab atau doktrin yang dianjurkan oleh Islam. Dengan kata lain, ekonomi Islam adalah suatu doktrin yang membahas semua aturan dasar dalam kehidupan ekonomi yang terkait dengan ideologinya tentang keadilan sosial. Oleh karena itu, tujuan keberadaan Islam, terutama ajarannya mengenai ekonomi, bukan sekadar untuk mengidentifikasi fenomena ekonomi di masyarakat, tetapi untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam bidang ekonomi.

Hakikat Ekonomi Islam 

Menurut Muhammad Baqir as-Sadr, ilmu ekonomi tidak dapat sejalan dengan Islam. Ekonomi adalah ekonomi, dan Islam adalah Islam; keduanya tidak dapat disatukan karena berasal dari filosofi yang saling bertentangan. Perbedaan filosofi ini memengaruhi cara pandang masing-masing terhadap masalah ekonomi. Ilmu ekonomi menganggap bahwa masalah ekonomi muncul dari keinginan manusia yang tidak terbatas, sementara sumber daya yang ada untuk memenuhi keinginan tersebut terbatas.

Baqir as-Sadr menolak pandangan ini, karena menurutnya, Islam tidak mengenal konsep sumber daya yang terbatas. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu telah terukur dengan sempurna, dan Allah telah menyediakan sumber daya yang cukup untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, ia beranggapan bahwa istilah "ekonomi Islam" bukan hanya tidak tepat, tetapi juga menyesatkan dan dapat berbahaya. Sebagai alternatif, ia mengusulkan istilah *iqtishad*, yang berasal dari kata Arab "qasd" yang secara harfiah berarti ekuilibrium, keadaan seimbang, atau pertengahan. Dengan demikian, semua teori ekonomi konvensional ditolak dan digantikan dengan teori-teori baru yang disusun berdasarkan nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah.

Konsep Distribusi 

Menurut Baqir as-Sadr, distribusi sumber-sumber produksi yang mendasar lebih penting daripada proses produksi itu sendiri. Dalam pandangan as-Sadr, sumber produksi harus diprioritaskan sebelum memulai proses produksi. Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi sumber produksi berada di urutan pertama, sedangkan proses produksi dan semua organisasi yang terlibat dalamnya berada pada urutan kedua. Oleh karena itu, distribusi dianggap sebagai langkah awal menurut pemikiran As-Sadr.

Teori Tanggung Jawab Negara (Mas'uliyah ad-daulah)

Pemikiran Baqir as-Sadr mengenai tanggung jawab negara dalam bidang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari pandangannya tentang negara Islam. Peran negara dianggap sangat penting dalam mengimplementasikan ajaran Islam di sektor ekonomi, sama halnya dengan sektor lainnya. Ekonomi Islam bukanlah ekonomi konvensional yang bebas dari nilai-nilai, melainkan ekonomi yang sangat terkait dengan nilai-nilai moral. Keterlibatan negara dalam perekonomian juga erat kaitannya dengan ideologi ekonomi yang dianut. As-Sadr menekankan bahwa hukum Islam mengamanatkan negara untuk menjamin kebutuhan setiap individu. Tanggung jawab atau fungsi pemerintah dalam bidang ekonomi meliputi: pertama, memastikan adanya jaminan sosial dalam masyarakat; kedua, berhubungan dengan pencapaian keseimbangan sosial; dan ketiga, terkait dengan intervensi pemerintah dalam perekonomian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun