Mohon tunggu...
ABDURROFI ABDULLAH AZZAM
ABDURROFI ABDULLAH AZZAM Mohon Tunggu... Ilmuwan - Intelektual Muda, Cendikiawan Pandai, Dan Cinta Indonesia
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jangan pernah lelah mencintai Indonesia dan mendukung Indonesia bersama Abdurrofi menjadikan indonesia negara superior di dunia. Email Admin : axelmanajemen@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Uang sebagai Alat Ukur dan Nilai Kemenangan Pilkada

28 Juli 2020   11:02 Diperbarui: 28 Juli 2020   21:52 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah bersama DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini sepakat menyelenggarakan PILKADA pada 9 Desember 2020. Namun Alat ukur dan kemenangan PILKADA 2020 dari uang. Karena uang sangat dibutuhkan masyarakat saat pandemi covid-19 dimana ekonomi sedang tidak baik-baik saja.

Uang sebagai komoditas kampanye dan tolak ukur kemenangan PILKADA 2020. Dengan kata lain, dengan kenyataan nilai diatas kertas (uang) sebagai alat transaksi politik karena masyarakat sulit untuk suatu gagasan dan program begitu abstrak dan relatif opsional keberlangsungan hidup mereka.

Uang Sebagai alat ukur yang mewakili nilai kemenangan PILAKADA 2020 karena kedermawan politisi yang nyata terhadap masyarakat. Lebih dari itu, pencitraan dermawan melalui pengenalan-pengenalan dengan membawa amplop berisi uang kepada masyarakat.

Manakalah seorang calon kepala daerah pelit kepada masyarakat. Berarti calon kepala daerah itu tidak hanya dikenal pelit tapi masyarakat memberi kepercayaan pada yang "dermawan".

PILKADA  secara langsung jelas membutuhkan biaya dari sponsor baik oligarki yang memiliki modal ekonomi,sokongan perusahaan swasta untuk proyek daerah, dan investor asing (foreign investor) untuk eksploitasi alam ketika terpilih di daerah.

Demokrasi Indonesia rapuh modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya tahapan kampanye karena uang, mereka disebut "Pasukan Nasi Bungkus". Uang menjadi "penggerak" dan "pelumas" yang dipakai oleh "Pasukan Nasi Bungkus"di Indonesia.

PILKADA tidak bisa diperoleh melalui "jalan pintas" untuk mencapai kemenangan kecuali dengan modal uang yang melimpah. Uang adalah alat untuk mendapatkan kekuasaan sedangkan kekuasaan untuk mengembalikan modal saat kampanye berlangsung.

Kemenangan ditentukan oleh perolehan suara terbanyak. Suara terbanyak bisa dibeli dengan mereka yang memiliki uang terbanyak. Penempatan jabatan kepala daerah oleh mereka yang banyak uang berbeda antara satu orang bukan dari golongan anak pejabat dan pengusaha dengan orang lain karena mereka harus meyakinkan lebih kepada masyarakat di daerah.

Peluang terpilihnya pasangan kandidat dari anak muda akan sulit bila mereka bukan titipan istana ataupun pengusaha karena semua itu merupakan bagian dari proses yang kompleks. Maka tidak bisa dikatakan salah sebagai hasil hanya dari kemenangan pilkada bila Gibran, Bobby, Azizah, Anne dan lain-lain masuk konstelasi politik seperti keluarga cendana pada orde baru.

Dengan mengikuti konstelasi politik PILKADA dengan dukungan tidak hanya politik tapi ekonomi, jarak kemenangan bagi aritokrasi adalah waktu. Pemerintahan para aritokrat kemudian dipilih oleh rakyat sebagai legalitas dalam demokrasi. Sebanyak mungkin menggalang koalisi partai politik dengan modal yang dimiliki.  Gagasan kekuatan pikiran akan kalah ketika perut kosong dan uang mudah diterima khalayak ditengah pandemi covid 19.*

Keterangan

Aristokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan kelompok kecil, yang mendapat keistimewaan, atau kelas yang berkuasa. Oligarki sebagai aristokrat-- kata yang sebelumnya tidak dikenal. Dalam beberapa tahun, itu diambil oleh revolusioner Perancis untuk menggambarkan lawan mereka sendiri dalam definisi.

Referensi

William Doyle. 2010. Aristocracy: A Very Short Introduction. NewYork : Oxford University Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun