JI menggunakan argumen otoritas palsu (false authority) dalam upaya mereka untuk meyakinkan orang bahwa aksi terorisme mereka memiliki legitimasi agama Islam.
Mereka mengklaim bahwa khilafah adalah bentuk pemerintahan Islam yang sejati, dan bahwa mereka memiliki hak untuk memperjuangkan itu dengan cara apa pun yang diperlukan, termasuk menggunakan kekerasan.
Namun, klaim JI seperti itu tidak didukung oleh ajaran Islam yang sebenarnya, dan bahkan banyak ulama dan tokoh Islam telah mengutuk aksi terorisme dan kekerasan dalam bentuk apapun.
JI juga menggunakan kesalahan akibat sebab (false cause) dalam upaya mereka untuk membenarkan tindakan teroris mereka.
Mereka berargumen bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan adalah akibat dari kegagalan negara dalam mewujudkan khilafah yang sejati, dan bahwa tindakan mereka diperlukan untuk memperbaiki keadaan tersebut.
Namun, kesalahan dalam berpikir ini terletak pada asumsi bahwa tindakan kekerasan akan secara otomatis membawa perubahan positif dalam situasi politik dan sosial, padahal sejarah menunjukkan bahwa tindakan kekerasan justru lebih sering memperburuk situasi.
JI juga menggunakan kesalahan definisi (equivocation) dalam upaya mereka untuk membenarkan tindakan teroris mereka.Â
Mereka mengklaim bahwa kata "khilafah" merujuk pada bentuk pemerintahan Islam yang sejati.
Tetapi pada kenyataannya, konsep khilafah itu sendiri bisa diartikan secara berbeda-beda oleh berbagai kelompok dan individu terafiliasi teror.
Bahkan, banyak ulama dan tokoh Islam yang menolak konsep khilafah dalam bentuk apapun, karena mereka memandang bahwa bentuk pemerintahan apa pun harus didasarkan pada  titik temu (kalimatun sawa).
Titik temu (kalimatun sawa)Â antara bangsa Indonesia beragama Islam dan Bangsa Indonesia beragama non-Islam untuk mencapai integrasi bangsa Indonesia.