Mohon tunggu...
Abdurrofi Abdullah Azzam
Abdurrofi Abdullah Azzam Mohon Tunggu... Ilmuwan - Intelektual Muda, Cendikiawan Pandai, dan Berbudaya Asia Afrika
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jangan pernah lelah mencintai Indonesia menjadi negara adidaya di dunia. Email Admin : axelmanajemen@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benarkah Trend Child Free Merusak Perekonomian Jepang?

9 Februari 2023   17:36 Diperbarui: 9 Februari 2023   17:38 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintah Jepang menghadapi penurunan penduduk. (foto : japantimes.co.jp)

Apakah benar tren terkini Jepang, Asia Timur adalah child free?

Ya, memang tren childfree living (dibaca Chairudofur) atau pilihan untuk tidak memiliki anak sedang marak di Jepang dan negara Asia Timur lainnya. 

Ada berbagai alasan untuk tren ini, termasuk perubahan sikap masyarakat terhadap menjadi orang tua, meningkatnya biaya membesarkan anak, dan keinginan untuk kebebasan pribadi dan stabilitas keuangan pribadi.

Apakah benar tren terkini child free menimbulkan kekhawatiran?

Tren  menuju kehidupan tanpa anak ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang konsekuensi bagi masyarakat, termasuk penuaan populasi dan potensi penurunan tenaga kerja, yang dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan keberlanjutan ekonomi.

Penting untuk menyadari bahwa pilihan untuk tidak memiliki anak adalah pilihan pribadi, dan bahwa individu harus memiliki hak untuk membuat keputusan ini berdasarkan nilai dan prioritas mereka sendiri. 

Pada saat yang sama, penting juga untuk mempertimbangkan implikasi sosial yang lebih luas dari tren ini dan berupaya menemukan solusi untuk mengurangi konsekuensi negatif apa pun.

 Benarkah Trend Child Free Merusak Perekonomian Jepang?

Kecenderungan menuju kehidupan tanpa anak atau child free di Jepang telah menjadi sumber keprihatinan banyak orang Indonesia di negara tersebut, karena memiliki konsekuensi yang luas kerusakan perekonomian Jepang.

"Saya prihatin dengan tingkat kelahiran yang menurun dan populasi yang menua menyebabkan kekurangan tenaga kerja, dan penurunan produktivitas keseluruhan negara Jepang, mudah-mudahan bukan karma karena telah menjajah Indonesia," Ucap Abdurrofi Abdullah Azzam pada hari kamis (09/02/2023).

Hal ini menurut Abdurrofi  semakin menekan perekonomian, karena pemerintah terpaksa meningkatkan pengeluaran untuk program-program yang bertujuan meningkatkan tenaga kerja, seperti kebijakan imigrasi dan insentif bagi orang untuk memiliki anak.

"Kecenderungan hidup tanpa anak di Jepang dipandang oleh beberapa pihak sebagai perusak masyarakat dan ekonomi negara terancam kepunahan gen Jepang," Ucapnya.

Menurunnya tingkat kelahiran dan populasi yang menua memberikan tekanan yang signifikan pada sistem jaminan sosial dan ekonomi, dan penurunan struktur keluarga dipandang sebagai ancaman terhadap tatanan sosial negara. 

Setiap orang yang menua di Jepang, yang membebani sistem jaminan sosial negara tersebut ditambah populasi yang menua berarti semakin sedikit pekerja muda untuk mendukung bertambahnya jumlah warga lanjut usia, yang menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pensiun, perawatan kesehatan, dan program kesejahteraan sosial lainnya.

"Meskipun keputusan untuk tidak memiliki anak adalah keputusan pribadi, konsekuensi dari tren ini harus diakui dan ditangani untuk memastikan stabilitas jangka panjang masyarakat dan ekonomi Jepang"Ucapnya.

Salah satu alasan utama mengapa kehidupan tanpa anak dipandang merusak masyarakat Jepang adalah karena penurunan angka kelahiran dan populasi yang menua sehingga menurunnya tingkat kelahiran telah menyebabkan populasi yang menyusut.

Alasan lain mengapa Abdurrofi Abdullah Azzam sebagai orang Indonesia prihatin kehidupan tanpa anak dipandang merusak masyarakat Jepang adalah karena dampaknya terhadap perekonomian negara. 

"Coba kita sama cek PDB Jepang dengan utang IMF pada 2021. Itu sudah jelas sedikit anak dengan banyak utang membuat Pemerintah Jepang bingung membebankan utangnya,"Ucapnya.

Rasio Utang Jepang sangat mengkhawatirkan investor. (Sumber Data: IMF)
Rasio Utang Jepang sangat mengkhawatirkan investor. (Sumber Data: IMF)

Pada tahun 2021, rasio utang terhadap PDB Jepang adalah salah satu yang tertinggi di antara negara maju. Menurut data dari Dana Moneter Internasional (IMF), rasio utang terhadap PDB Jepang lebih dari 250%. 

Ini berarti utang Jepang lebih dari dua setengah kali lebih besar dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang merupakan nilai total barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri pada tahun tertentu selama trend child free berlangsung.

"Salah satu faktor yang menyebabkan bertambahnya utang ini adalah meningkatnya kecenderungan individu "tanpa anak", yang memilih untuk tidak memiliki anak dan berkeluarga" Ujarnya.

Penurunan angka kelahiran telah menyebabkan populasi menyusut dan menua di Jepang, yang membebani sistem jaminan sosial negara tersebut. 

Populasi yang menua berarti semakin sedikit pekerja muda untuk mendukung bertambahnya jumlah warga lanjut usia, yang menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pensiun, perawatan kesehatan, dan program kesejahteraan sosial lainnya. 

"Beban berat Perdana Menteri sekarang ini, pada gilirannya, telah berkontribusi pada utang publik negara yang terus bertambah. Selain itu, berkurangnya jumlah pekerja muda juga berdampak negatif terhadap perekonomian negara,"Ucapnya.

Penurunan jumlah pekerja muda menyebabkan kekurangan tenaga kerja, dan penurunan produktivitas negara secara keseluruhan berujung rendahnya pajak pekerja, pajak konsumsi, pajak hunian dan pajak perdagangan lainnya. 

"Hal ini semakin menekan perekonomian, karena pemerintah terpaksa meningkatkan pengeluaran untuk program-program yang bertujuan meningkatkan tenaga kerja, seperti kebijakan imigrasi dan insentif bagi orang untuk memiliki anak,"Ucapnya.

Kecenderungan hidup tanpa anak juga menyebabkan penurunan jumlah pernikahan dan hubungan, yang selanjutnya berdampak pada perekonomian negara. Penurunan hubungan dan pernikahan telah menyebabkan penurunan jumlah orang yang membeli rumah, yang telah mengurangi permintaan akan perumahan dan konstruksi. 

 Benarkah trend child free membangun citra resesi seksual di Jepang?

"bagi masyarakat Indonesia, Jepang dikenal resesi seks atau resesi seksual benar terjadi terlihat dari data pertumbuhan penduduk Jepang yang menyusut," Ucapnya.

Struktur Demografi Jepang.( stat.go.jp)
Struktur Demografi Jepang.( stat.go.jp)

Total populasi Jepang turun di bawah level tahun sebelumnya pada tahun 2005 untuk pertama kalinya sejak perang, memuncak pada tahun 2008, dan telah menurun selama 11 tahun berturut-turut sejak 2011 dikutip dari state.go.jp.

Kecenderungan hidup tanpa anak atau child free juga berdampak negatif pada struktur keluarga di Jepang  dan menurunnya jumlah keluarga dipandang sebagai ancaman bagi tatanan sosial negara telah menyatakan keinginannya untuk menetapkannya sebagai simbol "meruntuhkan perpecahan vertikal".

Apakah trend child free menjadi ancaman nasional Jepang?

"Ya, Ancaman nasional Jepang menjadi nyata terlihat dari penurunan jumlah pernikahan dan hubungan menyebabkan penurunan jumlah keluarga, yang berdampak signifikan pada masyarakat Jepang,"Ucapnya.

Menurunnya struktur keluarga dipandang merusak karena keluarga memainkan peran sentral dalam memberikan dukungan dan stabilitas dalam masyarakat Jepang.

Apakah child free akan menjadi solusi dari masalah perekonomian di negara Indonesia?

"belum tentu juga dalam hal ini, pada gilirannya, child free belum pernah berkontribusi pada perlambatan ekonomi negara Indonesia. Peluang dari Jepang saat ini adalah tenaga kerja Indonesia profesional sehingga program pendidikan penting untuk TKI profesional." Tutupnya.

Kesimpulannya, utang publik Jepang yang tumbuh, yang sekarang melebihi PDB negara itu, sebagian disebabkan oleh tren meningkatnya individu tanpa anak merusak menstabilkan keuangan negara Jepang. Semoga bermanfaat.


Desclaimer

Child Free dari tulisan ini dapat menyajikan informasi secara objektif tanpa bias sehingga penting untuk diperhatikan bahwa masyarakat Jepang memilih untuk tidak memiliki anak adalah keputusan pribadi dan tidak boleh dinilai sebagai benar atau salah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun