Kita harus membaca fenomena gunung es menjadi intoleransi yang hampir selalu muncul di setiap isu kristenisasi, terutama jika berkaitan dengan kebijakan publik di Cilegon dalam pendirian Gereja.
Hampir tidak ada isu kebijakan publik, atau setidaknya sebuah tindakan yang mengenai kelompok orang, yang tidak melibatkan istilah ini melegitimasi intolerasi menjadi efek domino negatif.
Efek domino negatif terlihat dari hak beragama yang melekat secara kodrati yang dapat dikurangi dalam keadaan tertentu di Cilegon.
Cilegon menjamin kebebasan setiap masyarakat dalam memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing tapi tidak pendirian rumah ibadah.
Pemerintah Kota Cilegon hingga kini, tidak ada satupun tempat ibadah umat non Islam berdiri di Cilegon. Data resmi negara tahun 2019 mencatat ada 382 masjid dan 287 musolla di Cilegon, tanpa ada satu pun Kuil, Pura, Vihara, dan Kelenteng tercatat.
Padahal, jumlah masyarakat non-Muslim di tahun yang sama bukannya sedikit: 6.740 beragama Kristen, 1.743 beragama Katolik, 215 beragama Hindu, 215 beragama Buddha, dan 7 beragama Konghucu. Mereka semua tentu butuh tempat ibadah dikutip dari kemenag.co.id pada tanggal 11 September 2022.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud masyarakat Cilegon tidak hanya menolak pendirian Gereja tapi Kuil, Pura, Vihara, dan Kelenteng karena mereka menjadi masyarakat heterogen yang mempertahankan dari pemurtadan.
Pemurtadan merupakan sebuah gerakan mengganti atau meninggalkan agama yang dilakukan seseorang, hingga menjadi ingkar terhadap agama yang diyakini sebelumnya dalam hal ini Islam di kota Cilegon.
Bagi masyarakat Cilegon kekhususan Cilogon ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak banyak daerah yang belum memiliki banyak warga Kristen disini, sehingga sekelompok orang Kristen perlu diutus secara khusus untuk memberitakan Injil melalui pendirian gereja di Cilegon.
Kekhususan pemikiran masyarakat yang kuat ini membatalkan peran pemerintah Cilegon untuk mendirikan Gereja sehingga pendirian Gereja harus tetap ditolak termasuk anggapan para misionaris dalam banyak cara sambil tetap melakukan tugas agamanya sendiri.