Tujuan pernikahan mencapai kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah, wa rahmah (SAMAWA) atau membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Begitu juga perubahan lebih romantis negara-negara Asia Tenggara agar masyarakat bisa hidup bahagia dan kekal.
Untuk mencapai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bahagia dan kekal harus bisa saling bersinergi dan dengan bekerjasama dengan baik dalam menghadapi tantangan tersebut. Apabila tidak, bukan mustahil perekonomian di Negara Kesatuan Republik ASEAN (NKRA) tidak akan berkembang dan akan tersisih dalam kompetisi global.
Pada prinsipnya setiap Republik baru senantiasa terbuka dan memberikan dukungan dan jaminan keamanan, kenyamanan berusaha, kepastian hukum dan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada setiap pelaku usaha maupun para investor, baik yang datangnya dari dalam negeri sendiri maupun dari negara luar negeri.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sadar bahwa sampai kapanpun Republik baru ini akan selalu strategis dalam peta perdagangan dunia khususnya di dalam pengembangan “ekonomi biru”, yaitu perekonomian hulu dan hilir di bidang kelautan dan perikanan secara berkelanjutan didukung infrastruktur dan suprastruktur.
Indonesia bisa menggunakan strategi lindungi nilai (hedging) dengan konteks memberikan kekuatan hukum untuk Deklarasi Bangkok 1967 (Deklarasi ASEAN) dan memperluas penggunaan suara mayoritas yang memenuhi syarat untuk kebijakan-kebijakan yang sebelumnya harus disetujui secara bulat oleh negara-negara anggota ASEAN.
Pandangan umum muncul untuk rekonstruksi masa depan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bahwa Republik baru itu fragmentasi geografis tapi sejalan dengan semangat komitmen dan semangat persatuan yang sekarang ditemukan di asosiasi upaya besar-besaran pasca kolonialisme dengan unifikasi.
Konstitusi sebagai ikatan asmara yang legal dan halal pada rumah tangga dengan janji susi. Eh.. maksudnya janji suci. Saat masih pacaran, tentu negara-negara Asia Tenggara hanya akan mengeluarkan sifat terbaik kalian. Namun saat sudah menikah, sifat kalian yang buruk juga akan terlihat membutuhkan pengadilan ASEAN.
Memang, pertanyaan legitimasi bahkan lebih kritis untuk transnasional pemerintahan justru karena pengambilan keputusan dan alokasi nilai melampaui batas-batas negara-bangsa begitu dekat dari rakyat, baik wilayah dan dalam hal pengalaman sehari-hari mereka tentang politik 'normal', dan untuk alasan itu sangat kurang keakraban yang menopang pemerintah nasional.