Mohon tunggu...
Abdurrofi Abdullah Azzam
Abdurrofi Abdullah Azzam Mohon Tunggu... Ilmuwan - Intelektual Muda, Cendikiawan Pandai, dan Berbudaya Asia Afrika
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jangan pernah lelah mencintai Indonesia menjadi negara adidaya di dunia. Email Admin : axelmanajemen@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PPN 11 Persen VS PPN 0 Persen

21 Maret 2022   18:19 Diperbarui: 21 Maret 2022   18:20 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SUMBER GAMBAR: Shutterstock.com/Abdurrofi

Sebelum tahun 1950-an, tidak ada negara yang menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sehingga PPN 0 persen namun setelah  tahun 1950-an, lebih dari 80 persen negara-negara menerapkan PPN.

Faktur pajak untuk semua transaksi mereka, dan untuk mengatur bisnis mereka melalui faktur elektronik dibayar pengguna didasarkan pada biaya produk dikurangi biaya bahan dalam produk yang telah dikenakan pajak pada tahap sebelumnya.

PPN 11 persen di Indonesia lebih dikenal model untuk pajak umum atas konsumsi dimana memberikan perhatian yang lebih besar kepada mereka sebagai cara untuk merasionalisasi karena hampir semua negara memungut pajak konsumsi umum yaitu pajak atas penjualan sebagian besar barang dan jasa. 

Seseorang yang secara berlebihan membeli suatu barang atau jasa dengan mengutamakan keinginannya daripada kebutuhannya sangat baik  dapat diharapkan meningkat pada tingkat yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan ekonomi.

Tidak semua negara menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk barang dan jasa yang beredar di negaranya seperti negara Ukraina yang lebih fokus perang daripada negara fokus meminta Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tidak semua negara sengaja tidak menetapkan PPN untuk menarik perusahaan mendirikan badan hukum di negara yang bersangkutan karena tidak perusahaan melakukan produksi untuk kebutuhan warga dalam kasus-kasus tertentu.

Ada kasus tidak semua negara memperkenalkan PPN karena beberapa negara telah memperkenalkannya untuk meningkatkan pendapatan mereka dengan mengganti PPN yang bermasalah dengan pajak penjualan yang dianggap lebih netral dan efisien.

Pajak penjualan menempatkan beban ekonomi yang tidak semestinya pada konsumen berpenghasilan rendah sambil meningkatkan beban birokrasi pada bisnis sendiri sempat memperkenalkan regulasi pajak.

Pajak penjualan dan PPN memang konsep yang berbeda meskipun sama-sama di bawah naungan pajak konsumsi.

PPN tidak memungutnya langsung dari konsumen diwakilkan oleh perusahaan yang menyediakan barang/jasa kena pajak yang kemudian dilaporkan kepada pemerintah. Sementara, pembebasan PPN 0 persen tidak juga dibebaskan oleh pajak konsumsi.

Pajak penjualan dalam naungan pajak konsumsi biasanya digunakan dalam negara-negara dengan sistem ‘negara bagian’ untuk menyamakan pengenaan tarif atas konsumsi antar negara bagian sedangkan Indonesia tiap provinsi memiliki tarif atas konsumsi berbeda-beda.

Pemerintah menerima penerimaan pajak penjualan dari pajak konsumsi tetapi harus membayar subsidi produksi. Namun, karena subsidi dan tarif pajak diasumsikan identik dan karena konsumsi melebihi produksi, arus masuk pendapatan melebihi arus keluar.

 Jadi efek bersihnya adalah keuntungan pendapatan bagi pemerintah hingga pada akhirnya, biaya bagi konsumen melebihi jumlah manfaat yang diperoleh produsen dan pemerintah; dengan demikian efek kesejahteraan nasional bersih dari kedua kebijakan.

Kesetaraan ini penting karena apa yang mungkin terjadi setelah Indonesia meliberalisasi perdagangan untuk mengurangi kerugian pada perusahaan domestiknya di tiap provisnsi, negara tersebut dapat menerapkan subsidi produksi.

Subsidi produksi yang dapat mencegah dampak negatif yang disebabkan oleh liberalisasi perdagangan dan dapat dibayar dengan pendapatan tambahan yang dikumpulkan dengan pajak penjualan 11 atau PPN.

Kebijakan pajak sering dimotivasi oleh keinginan untuk melindungi industri dan pekerja domestik, pengendalian harga langsung hingga dampak kebijakan pajak pada setiap  pemerintah daerah di Indonesia.

Kita melihat sejumlah kebijakan yang menghasilkan keuntungan bagi beberapa pelaku pasar, tetapi kerugian bobot mati secara keseluruhan bagi masyarakat hingga kontrol harga dan kuantitas, pajak dan subsidi, dan kebijakan perdagangan dalam negeri.

Dengan demikian, negara-negara akan mencari cara untuk mengkompensasi pendapatan yang hilang dan mungkin membantu industri yang terpukul keras selama covid-19 secara substansial membantu atau merugikan industri dalam negerinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun