Mohon tunggu...
Abdurrofi Abdullah Azzam
Abdurrofi Abdullah Azzam Mohon Tunggu... Ilmuwan - Intelektual Muda, Cendikiawan Pandai, dan Berbudaya Asia Afrika
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jangan pernah lelah mencintai Indonesia menjadi negara adidaya di dunia. Email Admin : axelmanajemen@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Politik Identitas Oligarki, Erdoganisme, dan Islamisme di Turki

17 Februari 2022   11:29 Diperbarui: 17 Februari 2022   11:32 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Erdoga menjadi pengaruh tunggal dalam politik identitas. Sumber Gambar: Komisi Pemilu Turki

Erdogan berbicara dalam konferensi pers setelah pertemuan NATO di Brussels, Belgia. Sumber Gambar: Anadolu Agency/Mustafa Kamac
Erdogan berbicara dalam konferensi pers setelah pertemuan NATO di Brussels, Belgia. Sumber Gambar: Anadolu Agency/Mustafa Kamac

Keanggotaan NATO telah gagal untuk melindungi kepentingan Turki dari Irak ke Bosnia dan dalam konteks pemisahan diri dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK).

Dalam pandangan Erdoganisme, orang Turki memiliki pandangan yang baik untuk mengintegrasikan Kurdi ke dalam politik Turki arus utama, menggunakan pemikiran Islam untuk menyamakan orang Turki dan Kurdi sebagai Muslim. 

Orang Kurdi di Turki  sebagai etnis minoritas terbesar di negara tersebut  di antara rombongannya ada tokoh Kurdi terkemuka yang memainkan peran penting dalam memastikan dukungan Kurdi yang berkelanjutan untuk Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP).

Turki telah menghadapi krisis politik identitas yang berulang sejak modernisasi awal dan transisi dari apa yang disebut Machiavelli sebagai monarki Turki karena kecenderungan militer untuk membingkai isu politik Islamisme sebagai ancaman eksistensial memadati debat publik yang konstruktif.

Kadang-kadang debat publik dibatasi jika para elite menganggapnya mengancam karakter negara  namun orang-orang kaya di sekitar gerakan Islamisme itu diharapkan untuk melakukan berpihak ke oligarki dan mereka tidak berpihak dipimpin rezim militer.

Pola politik oligarki Turki sebagaimana oligarki Indonesia tidak ingin dipimpin militer terlihat minim dukungan Prabowo Subianto dan oligarki memilih Jokowi yang dikatakan pemimpinnya meskipun itu sesuai dengan kepentingan mereka di suatu negara. 

Sekarang setelah upaya kudeta 2016 di Turki telah gagal dari poros militer, Presiden Erdogan menciptakan banyak keluarga kaya sebagai bentuk terima kasih terakhir telah dianggap oligarki karena aliran kekuasaan dari negara ke keluarga menjaga bisnis mereka.

Keberhasilan oligarki dibalik gerakan Erdoganisme untuk mengislamkan/memualafkan Negara sekuler dan menetapkan museum Kristen Ortodoks Yunani  Hagia Sophia menjadi masjid sebagai hak kedaulatan Pemerintah  Turki.

Dengan demikian Turki tidak memiliki oligarki konvensional tetapi dianggap oleh sebagai oligarki sipil mengingat besarnya kekuasaan yang dimiliki seperti keluarga Koc, Sabanci  dan lain-lainnya dalam pemerintahan Erdogan sebagai politik identitas.

Referensi : 1 2 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun