Skandal korupsi yang ditangani KPK 36 persen atau 397 perkara, Â terbukti melibatkan pejabat politik di pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Terdapat 257 anggota DPR/DPRD, 22 Gubernur dari 34 Provinsi, dan 124 Walikota/Bupati dari 415 Kabupaten/Kota di Indonesia. Mereka layak mendapatkan hadiah.
Pelaku skandal korupsi melibatkan dua pejabat politik di Kementerian melalui penetapan Juliari Peter Batubara sebagai tersangka korupsi bantuan sosial hanya berselang 10 hari setelah KPK menetapkan Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus suap terkait izin ekspor bibit lobster harus mendapatkan hadiah.
Bukti kasih dalam memberi hadiah pada orang lain dalam skandal pelaku korupsi antar sesama sudah menjadi kewajiban untuk memberikan hadiah hukuman mati dengan penuh suka cita pada hari raya natal dan tahun baru.
Kajian analitis dengan menggunakan ilmu patologi birokrasi, kenapa kasus tertangkapnya skandal pejabat korupsi masih terus berlanjut dan relevansi tindak pidana korupsi layak hadiah hukuman mati.
A. Patologi Birokrasi Terhadap Skandal Pejabat Korupsi
Kajian mengenai patologi secara sederhana kita pahami dari bahasa Yunani, "pathos"Â "penyakit" dan "logos" berarti "ilmu", patologi adalah studi tentang hubungan antara penyakit dan ilmu dasar.
Secara ilmu medis penyakit adalah gangguan fisik atau fungsional dari sistem tubuh yang menempatkan individu pada peningkatan risiko akibat yang merugikan. Begitu juga skandal pejabat korupsi.
Penyakit ditubuh manusia didiagnosis oleh dokter atau kesehatan lainnya penyedia perawatan melalui kombinasi alat.Â
Ketika suatu penyakit didiagnosis, pengobatan diberikan kepada mencegah atau memperbaiki komplikasi dan meningkatkan prognosa atau pengacuan kepada masa depan dari sebuah kondisi yang ada.
Secara sederhana istilah patologi ke dalam ilmu pemerintahan untuk memberikan analogi tubuh birokrasi pemerintahan terdapat berbagai penyakit persis kondisi tubuh manusia memiliki penyakit berdampak jangka pendek atau panjang sehingga patologi birokrasi perlu obat.
Pepatah Arab mengatakan Likuli Daain Dawaaun berarti setiap penyakit pasti ada obatnya. Begitu pula dalam hal skandal pejabat korupsi sebagai patologi birokrasi pasti ada obatnya juga.
Kerangka patologi birokrasi diartikan kepegawaian dimana para pegawai pemerintahan memiliki pejabat sebagai raja dalam hierarki dicirikan yurisdiksi jelas dan pasti sehingga tugas dan tanggung jawab memiliki batasan-batasan
Kerangka patologi birokrasi  menguntungkan sekelompok masyarakat dekat dengan sumber kekuasaan untuk menikmati manfaat terbesar dari eksistensi birokrasi seperti kasus suap terkait izin ekspor bibit lobster dan bantuan sosial.
Patologi birokrasi merefleksikan kebutuhan individu-individu dari kepemimpinan birokrasi sedangkan kepemimpinan birokrasi merefleksikan kepemimpinan politik. Artinya setiap pemimpin politik melakukan skandal korupsi berpeluang memotivasi pejabat birokrasi dan pejabat pemerintahan karena mereka sudah mengenali peluang korupsi dan dapat merealisasikannya perilaku para pimpinan.
Pepatah Indonesia bahwa ikan busuk mulai dari kepala. Jika pimpinannya bermasalah maka bawahannya akan bermasalah juga.
Skandal pejabat politik menjadi kepemimpinan korupsi sehingga bawahannya Aparatur Sipil Negara (ASN) akan meneladani korupsi. Birokrasi dianggap sebagai cara yang paling mudah untuk dipengaruhi pejabat politik di pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
Sejumlah pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 yang berkenaan dengan tujuh bagian kejahatan korupsi tersebut lebih terang dapat dibaca dalam bentuk-bentuk korupsi berdasarkan tujuh bagian kejahatan korupsi sebagai berikut:
- Tindakan merugikan negara/masyarakat
- Suap Menyuap
- Penggelapan Dalam Jabatan
- Pemerasan
- Perbuatan Curang
- Benturan Kepentingan
- Gratifikasi
Dalam tujuh bagian kejahatan korupsi menyebabkan masyarakat deklarasi jihad fi sabilillah ataspemberian hadiah hukuman mati diinisiasi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan Islam terbesar baik di tingkat nasional maupun internasional yang memiliki pengaruh yang besar di Indonesia, sehingga memiliki tanggung jawab moral sebagai bagian dari perintah agama dalam membagikan kebahagiaan sesama.
B. Fatwa Haram Korupsi dan Hukuman Mati di Indonesia
Perjuangan Nahdlatul Ulama dengan perjuangan organisasi Islam lainnya sepakat dalam Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram dalam musyawarah nasional mengenai korupsi dengan hukuman mati sebagaimana UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai korupsi bencana alam.
Kita meninjau skandal pejabat korupsi baik pejabat politik di pemerintah pusat maupun daerah adalah patologi akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan pemerintah.Â
Diantara patologi jenis ini birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana pelanggaran karena diantara patologi jenis ini antara lain, tindakan merugikan negara/masyarakat, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan, dan gratifikasi
Hukuman mati kepada pengedar narkoba, terorisme, koruptor, pelanggar berat HAM, pengkhianat Indonesia, dan gerakan separatisme ditegakkan sesuai Pancasila pada bagian kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia juga pernah mengeluarkan fatwa tentang hukuman mati pada acara Musyawarah Nasional MUI yang ke-7 pada tanggal 28 Juli 2005 di Jakarta. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tidak bersifat mengikat tetapi fatwa Majelis Ulama Indonesia ini menjadi pendukung bagi terlaksananya hukuman mati di Indonesia.
Birokrasi hanya bisa berjalan baik ada di mana seluruh layanan negara disingkirkan dari kehidupan skandal pejabat korupsi sebagai pemimpinnya serta pangkat dan arsipnya. Motifnya, objeknya, kebijakannya, standarnya, harus birokratis, bukan koruptif.
C. Skandal Pejabat Korupsi Tiongkok dan Indonesia
Tiongkok berhasil menjadi negara maju karena berhasil menempatkan patologi birokrasi dengan hukuman mati sebagai komponen pembangunan mengubah kondisi ekonomi dan sosial dibandingkan dekade sebelumnya.
Pada dekade sebelumnya pemerintah pusat tidak mampu atau tidak mau menyelidiki sejumlah besar pejabat, terutama pejabat tinggi. Pada saat yang sama, itu harus memberikan hukuman yang berat kepada terpidana pejabat tinggi karena tuntutan mahasiswa 1989.
Mahasiswa Tiongkok menggunakan isu korupsi untuk memobilisasi sesama warga, melegitimasi demonstrasi, membangun ketidakstabilan politik, dan mendukung seruan reformasi politik karena pemerintah menoleransi pejabat yang korup hanya mendorong lebih banyak korupsi, yang merusak otoritas dan legitimasi negara Tiongkok.
Hasil perjuangan mahasiswa berdasarkan Harian Kejaksaan 1993–2010 tetap hukuman penjara, penjara seumur hidup, hukuman mati dengan penangguhan hukuman, hingga hukuman mati. Mode disiplin selektif ini berkompromi kredibilitas negara dalam hal efikasi antikorupsi dan menimbulkan kepastian sanksi bagi skandal pejabat korupsi karena skandal pejabat korupsi tidak dijamin pengecualian.
D. Bahaya Laten Korupsi dan Hukuman Mati di Indonesia
Pada era reformasi, spirit reformasi mahasiswa dituangkan ke dalam TAP MPR XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih bebas dari bahaya laten korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal ini diperkuat dengan TAP MPR VIII/2001 tentang arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan KKN dimulai setelah jatuhnya Soeaharto pada tahun 1998 akan berubah drastis pasca orde baru.
Hukum Pidana Tiongkok masih mencantumkan korupsi sebagai subjek hukuman mati tanpa pengecualian sementara di Indonesia hukuman mati tidak termasuk sebagai bencana non-alam.
Pada tanggal 5 Januari 2021, Tiongkok dan dunia dikejutkan ketika Lai Xiaomin, mantan ketua raksasa keuangan yang dikendalikan negara, Tiongkok Huarong Asset Management Corp dan kader Partai Komunis Tiongkok (PKT) tingkat wakil menteri, dijatuhi hukuman mati. karena mengantongi suap sekitar 1,8 miliar RMB (hanya di bawah $278 juta USD atau Rp. 3,9 miliar kurs rupiah 14.259,15).
Berbeda dengan pengadilan Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo diduga menerima suap Rp 3,4 miliar dan 100.000 dolar AS terkait izin ekspor benih lobster. Adapun Juliari diduga menerima suap senilai Rp 17 miliar dari fee pengadaan bansos sembako untuk warga terdampak COVID-19.
Pengadilan Rakyat Menengah Kedua Tianjin (Tiongkok) melaporkan bahwa, dari 2008 hingga 2018, Lai menggunakan posisinya untuk menerima suap yang setara dengan lebih dari 1,788 miliar RMB, menggelapkan dan menyelewengkan dana publik dengan total lebih dari 25,13 juta RMB, dan juga bersalah atas korupsi dan bigami.
Hukuman mati pengadilan mengutip jumlah kejahatan suap yang luar biasa besar, terutama keadaan serius, dan keganasan subyektif yang sangat dalam menyebut dia tanpa hukum dan sangat serakah.
Jika masyarakat Tiongkok marah dengan skandal pejabat korupsi meski ada hukuman mati. Maka, Masyarakat Indonesia juga berhak marah terhadap korupsi bantuan sosial untuk kemanusiaan di tengah pandemi covid 19 tanpa hukuman mati.
Perbedaan mereka dihukum mati sedangkan Indonesia tidak dihukum mati. Sementara itu formulasi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi pada masa pandemi COVID-19 harus disikapi serius dengan diperlukannya amandemen terhadap regulasi sehingga meskipun korupsi mereka mendapatkan sanksi sesuai perbuatannya.
Formulasi amandemen UU Pemberantasan Tipikor yang diharapkan muncul darinya membawa suatu ultimatum terakhir kepada para calon koruptor
Meskipun, dalam situasi normal, belum ada satu pun kasus tindak pidana korupsi yang jatuhi pidana mati. Karena satu dan lain hal, ambil contoh perumusan pidana mati. Demi ketertiban hukum pidana mati dan harus diterapkan pemerintah Indonesia.
Indonesia mengalami darurat korupsi yang dalam keadaan luar biasa dapat diterapkan berdasarkan patologi birokrasi. Sementara itu, Negara Indonesia masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam bahaya laten korupsi.
Masyarakat dikacaukan pejabat tidak menjadi teladan dan dibahayakan stabilitas nasional sehingga korupsi memerlukan pidana mati. Bahaya yang tersembunyi, terpendam, tidak kelihatan, tetapi mempunyai potensi untuk muncul bahaya laten.(*)
DAFTAR PUSTAKA
- Alim, H., Ramdlan, M. M., Wahid, M., Irfan, M. N., & Ahmad, R. (2017). JIHAD NAHDLATUL ULAMA MELAWAN KORUPSI. Jakarta: Lakpesdam PBNU.
- Gunawan, I. (2010). Strategi Komunikasi Mejelis Ulama Indonesia dalam Mensosialisasikan Fatwa haram Korupsi Kepada Umat Islam Indonesia. Jakarta: UIN Syarih Hidayatullah.
- Liu, Y., & Grace, F. (2021, Juli 1). CSR Blog: Corruption and the Death Penalty in China: Political Win v. Criminal Law Development. Dipetik Desember 27, 2021, dari The SAIS China Studies Review
- Ma'ruf', M. (2010). PATOLOGI BIROKRASI. Jurnal Visioner, 4(3), 1-18.
- Ramadhan, A. (2020, Desember 7). Dua Menteri Tersangka Korupsi, Muhammadiyah: Budaya Korupsi Masih Subur. Dipetik Desember 28, 2021, dari Kompas.com
- Ramadhan, A. (2020, September 20). KPK Mencantat 397 Pejabat Politik Terjerat Korupsi Sejak 2004 Hingga Mei 2020. Dipetik Desember 27, 2021, dari Kompas.com
- Savitri, P. I. (2021, November 25). Jaksa Agung: Sanksi Pidana Mati Tipikor Tidak Untuk Bencana Non-Alam. Dipetik Desember 27, 2021, dari antaranews.com
- Siagian, S. P. (1994). Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi, dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
- Suherman, H. (2020). KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI ERA PANDEMIC GLOBAL. Jurnal Hukum Aktualita, 3(1), 657 – 672.
- Yahya, I. (2013). EKSEKUSI HUKUMAN MATI TINJAUAN MAQĀṢID AL-SHARĪ’AH DAN KEADILAN. Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 23(1), 81-98.