Pada Sebuah Puisi
ingin ia sekali saja sendiri
menangkupkan jari-jemari
merenungi hening hutan jati,
ia ingin suatu hari
mengerosong meninggalkan jasad fananya
terburai total dalam cuaca pagi
hingga bebas mengikut ke mana kupu-kupu itu pergi,
ia suka mendambakan
suatu senja tenang, tanpa pertengkaran
dan kota mengalir damai di bawahnya
dari ketinggian nun di sana, alami saja
tanpa kehadiran jadwal dan poster-poster iklan,
ingin ia menyusup ke malam yang megah
terpapar kesunyian dalam sebuah kubah
tanpa gerak, tanpa suara
diam bagai arca
bagai malaikat yang menyunggi cakrawala
sementara alam raya berputar menawafi
membisu dalam harmoni yang lestari,
tapi ia cuma deretan gerombolan kata
partitur makna yang terusir dari asal usulnya
terdampar pada gang-gang kumuh
flat-flat yang saling berdempet
dimana kucuran air kran tetangga serasa di bawah telinga
dan bunyi cebok heboh hingga ruang keluarga
dimana iklan dan daftar belanja
ia hanya tidak ingin diganggu sementara
diiming-imingi hadiah dan harapan yang serba menggoda
disuruh memadamkan pemberontakan lalu dipahlawankan
ia ingin lepas sepenuhnya dari perlambang,
namun keinginan-keinginan ini
sudah demikian musykilnya bagi ini zaman
sehingga di kota
ia dianggap sebagai roh gentayangan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI