kau rasakan hujan yang biasa ricik perlahan
merindui sawah ladang
rumpun bambu, barisan teratai merah
di tepi telaga, kuncup kembang sepatu
yang dulu kau kalungkan ke leher gadis itu-
tiba-tiba begitu gencar riciknya malam ini
menusuki atap rumahmu
seperti ribuan peniti mencari celah
antara lipatan pori kulit tubuhmu:
jarum waktu makin sengit mengincar urat lehermu
"jebakan tikus itu pasti terendam
dan musim tanam sedikit tertunda."
Apa yang masih bisa kau gelisahkan
telah kau sebrangi paceklik pancaroba
muntaber yang menguras setengah isi desa
anak-anak datang dan pergi
musim berganti hari demi hari
kau juga sudah kantongi mimpi-mimpi masa muda
yang ternyata tak penting
dan cuma bikin pening,
beribu peristiwa mengendap
dalam lumpur benakmu yang pekat
dan inilah hari itu tiba
kau tegak bersih di bawah kubah senja yang megah
berkemas menjemput Sepimu yang tak tergoyah
tak hirau lagi akan goyangan reranting
himbauan laut padi menguning;
penuh seluruh kau tersekap Hening-
:bayangkanlah saja Senja mengatupkan
pelupuk cakrawala dengan penuh belas kasihan
membaringkannya perlahan dalam gegar buaian penghujan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H