Mohon tunggu...
Abdurrazzaq Zanky
Abdurrazzaq Zanky Mohon Tunggu... Petani - petani.

Senang membaca segala jenis buku, nulis diary, mengamati lingkungan alam dan sosial, menertawakan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tautologi Kenaikan PPN

20 November 2024   16:21 Diperbarui: 20 November 2024   16:28 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-perempuan-kaum-wanita-gadis-6106887/

Tautologi Kenaikan PPN

Beberapa hari bekangan sejumlah rumah potong ayam broiler di kampung saya menghentikan usahanya sementara sampai batas waktu yang tidak diketahui. Alasannya, harga dari agen tertalu tinggi hingga langganan mengurangi jatah pesanan. Akibatnya, ayam tak habis terjual sesuai jatah kouta yang ditetapkan agen. Akibatnya lagi, mereka harus memberi pakan lebih. Karena ayam broiler yang terlalu besar kurang diminati, jadi mereka terpaksa melegonya dengan harga di bawah modal untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

Efek selanjutnya merambat ke tukang nasi bungkus, tukang pentol, tukang kentaki, warung nasi goreng, warung bakso, lesehan, hingga acara kenduri dan hajatan. Sampai di sini, tak seorangpun tahu apa yang menyebabkan harga daging ayam itu naik tiba-tiba. Orang menganggapnya alami saja. Nanti juga turun dengan sendirinya seperti yang sudah-sudah. Tangan pemerintah dicuci oleh kepolosan dan sifat pemaaf raktaynya.

Banyak orang yang tidak mengetahui atau tidak sadar bahwa ratusan barang pabrikan yang kita konsumsi setiap hari itu melekat pajak di tiap bungkusnya. Mereka menyangka bahwa kita hanya membayar sesuai dengan ongkos produksi dan laba yang diinginkan perusahaan. Mereka mengira perusahaanlah yang membayar pajak pada pemerintah. Padahal justru pada ujung mata rantai produksi itulah PPN beroperasai. Konsumen akhirlah yang membayar. Perusahaan hanya menyetorkan.

Alasan pemerintah kali ini menaikkan PPN adalah untuk menekan defisit anggaran dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Ironinya justru terletak persis pada pengelolaan utang luar negeri tersebut. Yaitu ketika sebagian besar utang itu digunakan untuk membiayai proyek-proyek high coast ang kegunaan jangka panjangnya sangat elitis dan terkonsentrasi pada suatu sektor usaha tertentu: infrastruktur dan properti. Dua sektor yang sering -balik kedudukannya. Infrastruktur yang jelas PSN, dalam prakteknya banyak dikelola swasta, sedang properti yang jelas milik swasta malah dibiayai dengan uang negara. Utang dan pajak rakyat jelata. Pak Said Didu yang tahu persis di mana letak proyek-proyek selundupan ini.

Situasinya mirip seperti permainan jungkat-jungkit. Kalau yang satu naik, yang sebelahnya turun. Ketika yang sebelah turun, yang di depannya harus naik. Tidak ada terobosan untuk menghentikan pemainan yang melelahkan ini. Saya teringat pada gagasan mendiang bang Rizal Ramli, bahwa tidak semua utang itu mesti dibayar dengan uang. Tapi bisa ditukarkan dengan paket kebijakan. Kebijakan lingkungan umpama.

Dalam situasi interdepedensi iklim dan lingkungan yang saling mempengaruhi, banyak negara berkepentingan langsung dengan kelestarian alam Indonesia. Indonesia adalah paru-paru dunia, dan bukanlah suatu aib atau sikap kurang ajar kalau kita memungut sedikit bayaran untuk sekedar memelihara dan melestarikannya. Sama saja seperti kalau kita mau masuk tol, mesti bayar dong, begitu prinsip sederhananya. Hanya saja gagasan ini tidak ada hubungannya dengan uang 'cash' atau proyek baru yang bisa dijadikan lahan bancakan.

Bahkan sebelum paket kebijakan kenaikan PPN ini diberlakukan awal tahun depan, korban-korban mulai berjatuhan. Bukan hanya sektor formal yang kena dampak, di sektor non-formal justru lebih ngeri lagi. Dampaknya bisa sangat dalam. Orang-orang kecil di luar pekerja formal ini adalah mereka yang sudah kalah dan tersisih di segala bidang: pendidikan, kesempatan usaha, akses modal, akses informasi, pengetahuan dasar bernegara. Memang ada beberapa paket kebijakan populis yang khusus diperuntukkan bagi mereka. Tapi itu selalu lebih kecil dan tidak sebanding dengan dampak degradasi derajat hidup yang mereka derita. Lubang defisit dan ketergantungan pada utang luar negeri mungkin (ini mungkin lho) bisa ditekan dan dikurangi, tapi di depan kita sudah menganga lubang baru yang mahabesar dan lebih dalam, di mana 200 juta rakyat paling miskin akan segera terjerumus ke dalamnya. Kenaikan PPN ini hanya akan menjadi tautologi dari deretan tautologi sebelumnya, di mana kita hanya bisa melakukan tambal sulam seadanya dan melupakan penyelesaian substansi masalah yang sebenarnya. Pengentasan kemiskinan dan pemerataan keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun