Mohon tunggu...
Sosiologi Perspektif
Sosiologi Perspektif Mohon Tunggu... Guru - wadah untuk bekarya

Berkaryalah selagi masih berpikir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keberagaman Gender di Indonesia

18 Agustus 2021   08:35 Diperbarui: 18 Agustus 2021   08:36 3137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembahasan artikel ini akan bersangkut paut dengan perubahan sosial mengenai keragaman gender  yang terjadi di Indonesia. Perubahan sosial  secara sederhana dapat diartikan sebagai proses di mana dalam suatu sistem sosial terdapat perbedaan-perbedaan yang dapat diukur pada kurun waktu tertentu. Mengutip dari Marcus Aurelius, waktu adalah sungai dari kejadian-kejadian yang telah berlalu dan arusnya sangat kuat. Sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia, manusia dikaruniakan hasrat untuk berpikir untuk  menciptakan kehidupan yang lebih baik. Hal ini yang menyebabkan perubahan sosial itu terjadi dan tidak dapat dihindari.Kehidupan masyarakat tidak pernah berhenti dan akan selalu berkembang, maka setiap unsur dalam masyarakat akan senantiasa mengalami pergeseran serta penyesuaian. Pergeseran dan penyesuaian pada akhirnya akan menimbulkan perubahan sosial. Salah satunya adalah mengenai gaya hidup.

Gaya hidup yang disebut disini dapat dimengerti sebagai suatu ekspresi dan simbol untuk menampakan identitas diri atau identitas kelompok. Hal tersebut seringkali dipengaruhi oleh nilai-nilai tertentu dari etnis, agama, budaya, dan kehidupan sosial, demi menunjukkan identitas diri melalui ekspresi tertentu yang mencerminkan perasaan. Gaya hidup kelompok di Indonesia ternyata memiliki keragaman, terutama dalam menggambarkan ekspresi diri. Fungsi dari penetapan gender adalah untuk mencerminkan siapa dirinya sebagai pribadi yang independen atau sebagai individu. Penetapan gender seseorang akan berpengaruh kepada banyak hal dalam rangkaian kehidupan sosialnya.

Apa itu gender? Gender menurut Handayani dan Sugiarti adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Karakteristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin (laki-laki, perempuan, atau interseks). Orang-orang yang tidak mengidentifikasi dirinya sebagai pria atau wanita umumnya dikelompokkan ke dalam masyarakat non biner atau genderqueer.

Gender apa saja yang ada di Indonesia? Secara umum, gender yang diakui oleh mayoritas masyarakat Indonesia ada 2, yaitu laki-laki dan perempuan. Dengan perkembangan zaman, sebagian masyarakat Indonesia juga sudah mengenal gender lainnya, akan tetapi tidak semuanya bisa menerima keberadaan gender-gender yang di beberapa tahun ini baru muncul. Walau begitu, tanpa disadari, telah ada beberapa suku adat Indonesia yang sudah mengenal macam-macam gender selain laki-laki dan perempuan sejak lama.

Siapa sangka melihat jejak budaya di Indonesia, kita dapat menemukan keragaman gender. To Burake, gender ketiga yang diakui masyarakat daerah Toraja. To, yang artinya adalah orang, jadi To Burake artinya adalah orang Burake. Mereka adalah orang-orang yang berjenis kelamin lelaki namun berdandan seperti layaknya seorang perempuan (To Burake Tattiu) atau berjenis kelamin perempuan namun berdandan seperti layaknya seorang lelaki (To Burake Tambolang). Orang Burake sangat disegani oleh masyarakat setempat, kehadiran mereka sama sekali bukan masalah. Orang Burake ini berperan penting dalam pelaksanaan ritual keagamaan, terutama ritual upacara adat untuk masa tanam dan menjelang panen karena peran mereka dipercaya dapat memperlancar proses panen dan menghasilkan hasil yang memuaskan, didukung pula dengan penelitian dari antropolog Hetty Nooy-Palm. Sayangnya, orang Toraja sendiri percaya bahwa sudah sedikit sekali mendekati tidak ada To Burake lagi.

Menghilangnya Orang Burake ini bukan tanpa sebab. Menurut sejarah, pada saat misionaris Belanda datang ke Toraja dan membawa dogma agama kristen, banyak masyarakat Toraja yang ikut terpengaruh. seorang Rukka, masyarakat Toraja yang memperjuangkan hak adat masyarakat Toraja menyerukan, "Jadi peradaban modern datang, Kristen datang, maka ritualnya yang dihilangkan, sehingga peran To Burake hilang juga. Kristen sangat kuat dan dominan di Toraja!". Maka sekarang, kehadiran To Burake sudah tidak bisa ditemui lagi. Masyarakat Toraja zaman sekarang sangat menyayangkan hal tersebut, akibat pengaruh globalisasi, adat Toraja yang dulunya sangat melekat dengan kehidupan sehari-hari mereka, dapat mengentalkan tali persaudaraan, dan semakin menghargai perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat.

Hilangnya Orang Burake di Tanah Toraja bukan berarti gender ketiga sudah tidak bisa ditemukan lagi di sana. Orang-orang yang memiliki gender ketiga masih ada namun peran merekalah yang dihilangkan akibat dari proses masuknya ajaran agama dan modernisasi.

Sumber : peacegen.id
Sumber : peacegen.id
Suku Bugis juga mengakui keragaman gender, bahkan di kebudayaan masyarakat bugis terdapat 5 gender termasuk laki-laki dan perempuan yang diakui oleh mereka. Sebutan laki-laki dalam bahasa bugis adalah orowane. Tuntutan yang biasanya melekat pada setiap laki-laki adalah harus tampak maskulin dan tegas. Makkunrai adalah sebutan perempuan dalam bahasa bugis. Kedudukan perempuan dalam suku Bugis sangat dihargai dan dianggap sebagai martabat keluarga.

Calabai adalah orang yang dilahirkan dengan kondisi biologis laki-laki tetapi berperilaku seperti perempuan. Akan tetapi diri mereka dan masyarakat bugis yang lain tidak menganggap calabai ini sebagai seorang perempuan melainkan tetap seorang lelaki. Calalai merupakan kebalikan dari calabai, dimana calabai merupakan seorang laki yang bertingkah seperti perempuan, calalai merupakan seorang perempuan yang bertingkah seperti laki-laki. Yang terakhir adalah Bissu, berbeda dengan keempat gender yang telah disebutkan sebelumnya. Untuk menjadi seorang bissu, jika dia terlahir sebagai seorang laki-laki maka dia harus berkepribadian perempuan, begitu pula sebaliknya. Dikatakan bahwa seorang yang teridentifikasi sebagai seorang Bissu tidak tertarik dengan kaum laki-laki maupun perempuan.

Seiring berjalannya waktu, jumlah bissu mulai menurun. Hal ini dikarenakan setelah kemerdekaan Indonesia, kaum bissu dianiaya di bawah rezim fundamentalis Islam dan komunis.

Keragaman gender di Indonesia yang dulu sempat menjadi kekayaan budaya terhanyut oleh derasnya pengaruh budaya lain, terutama pada masa kolonialisme dulu yang sangat tegas dalam hal budaya dan agama. Pada ajaran agama modern pun, gender selain heteroseksual pun dianggap kurang bermoral dan memberikan pengaruh buruk.

Pengaruh ini juga terus berlanjut sampai masa sekarang. Adanya globalisasi yang mendatangkan konsep identitas seksual serta gender yang baru yang kerap dikenal dengan 'LGBTQ+", yaitu Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, dan lainnya, yang mengundang banyak pandang pro maupun kontra.

Peran gender menjadi suatu hal yang dianggap berbeda apabila dilihat dari kebudayaan gender zaman dulu dan sekarang. Dahulu, tidak semua perempuan diperuntukkan untuk mengurus anak, mereka juga bekerja di ladang, mencari makan, dan bahkan terkadang dianggap lebih tinggi sebagai petinggi dalam ritual keagamaan. Begitu pula dalam peran lelaki, mereka tidak selalu berperan sebagai kepala keluarga. Zaman sekarang, banyak pandangan yang menstereotipkan peran lelaki sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga sedangkan perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan menjaga anak. Bisa dilihat perubahan yang terpampang akibat pembagian peran jika dibandingkan.

Keragaman yang dulunya ada di Indonesia menjadi pijakan awal dalam perilaku menghargai sesama dalam perbedaan. Walau sekarang, ada juga pihak-pihak yang membuat tindakan anarkis terhadap orang-orang yang "berbeda". Kehadiran masyarakat dengan keberagaman gender di Indonesia yang hadir ratusan tahun yang lalu dan sempat hilang karena adanya pengaruh agama dari kolonialisme dapat hadir kembali dalam pemikiran lainnya.

Belajar dari teori siklus perubahan sosial, bahwa perubahan sosial bagaikan roda yang berputar dan tak dapat dihindari, sifat alami dalam perkembangan zaman juga terus berlanjut. Apabila dahulu gender ketiga dalam kebudayaan Indonesia diterima dan menjadi peran krusial dalam kebudayaan dan masyarakat, mungkin di masa depan, gender-gender baru yang masuk melalui globalisasi dapat berperan diterima dan keberadaannya setara dengan sesama gender.

Penyesuaian dan pergeseran unsur masyarakat yang ada di dalam kebudayaan di Toraja dan Bugis mencerminkan bahwa perubahan sosial dapat disebabkan oleh setidaknya satu dari sekian penyebab, yaitu pengaruh dari kebudayaan lain. Pengaruh kebudayaan lain ini termasuk kepada penyebab yang berasal dari eksternal masyarakat tersebut. Hubungan antar masyarakat sangat bisa saling mempengaruhi dan menimbulkan timbal balik antar kebudayaan. Kolonialisme yang masuk ke Indonesia bertahan cukup lama. Waktu yang cukup lama ini perlahan-lahan tapi pasti, membuat perubahan kepada unsur-unsur kebudayaan yang sebelumnya sudah ada.

Proses yang terjadi pada perubahan sosial ini adalah proses asimilasi, dimana terjadi peleburan kebudayaan sehingga pihak-pihak yang sedang berasimilasi akan merasakan adanya kebudayaan tunggal yang dimiliki bersama. Seperti apa yang sudah dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya bahwa beberapa unsur kebudayaan (yang telah disebutkan), mengalami perubahan dan bahkan mengalami kehilangan makna dan arti. Pengaruh-pengaruh tersebut sebagian besar disebabkan oleh ajaran agama yang menyebar di Indonesia sebagai salah satu akibat dari datangnya masyarakat asing.

Perubahan sosial bisa dipandang sebagai suatu hal yang positif dan juga negatif. Kontak dengan budaya lain sekaligus bersama dengan pengaruh-pengaruhnya bagai air bah yang tidak bisa kita hindari. Ditambah lagi pada era modern ini, globalisasi mempermudah koneksi manusia satu sama lainnya. Pertukaran informasi menjadi semakin efektif berkat teknologi, seperti yang paling sederhana adalah handphone kita sendiri. Sebagai manusia normal, kita tidak terancang untuk menerima jutaan kemungkinan pengaruh yang bisa datang melalui telepon genggam kita. Maka sebaiknya kita harus bisa membatasi diri kita sendiri, mengatur diri kita sendiri untuk memilah informasi apa saja yang penting dan ingin kita dapatkan serta cerna. Ini adalah sebuah langkah kecil untuk memberikan pengaruh dan perubahan positif kepada unsur kebudayaan Indonesia.

***

Sumber :

https://www.semanticscholar.org/paper/Gaya-hidup-dapat-diidentikkan-dengan-suatu-ekspresi-Hidup-PEDESAAN/2eebbaf37893c1e5a5db635abb6adcce776294f7

https://medium.com/nurdiyansah-dalidjo/gender-ketiga-dalam-tradisi-toraja-e77fd94c0de9

https://profakta.com/lifestyle/budaya/mengenal-sistem-5-gender-pada-suku-bugis/

https://peacegen.id/harmoni-dalam-5-gender-dalam-suku-bugis-mungkinkah/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun