Mohon tunggu...
Abdurrahman Jtk
Abdurrahman Jtk Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat

Saya rumit. Sesederhana itu.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Antara Menulis dan Bercerita #2

28 Februari 2021   18:43 Diperbarui: 1 Maret 2021   01:58 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

meski tulisan kayak ceker ayam dan asal-asalan ini, saya termasuk orang yang suka membaca tulisan-tulisan saya sendiri. rasanya seperti permen nano-nano. campur aduk. kadang-kadang bernostalgia, kadang-kadang seperti melihat diriku yang kemarin beserta segala pola pikirnya, kadang-kadang ketawa, bahkan kadang-kadang pusing sendiri melihat saya di hari kemarin kok ya njelimet gini maunya itu lho kemana.

Tapi baiklah, abaikan saja statemen serupa curhat itu. kita mulai yang serius saja.

pada bagian pertama "Antara Menulis dan Bercerita", yang saya bilang bahwa saya capek mengetik itu, saat saya baca lagi entah kenapa muncul #UtangRasa saya agar menambahinya. karena itu, entah ini penting apa tidak, saya akan menambahinya. yang penting #UtangRasa saya bisa terasa tunai. hwehehe

***

pada bagian sebelumnya, kita tentu tahu bahwa bercerita itu penting. ia, menurut saya pribadi, adalah sejenis alat yang paling optimal terutama dalam menjelaskan nilai-nilai, definis-definisi abstrak.

misalnya, kita ingin menjelaskan kesadaran tentang kebebasan. seperti apa definisinya? seandainya definisinya beragam, kamu akan memilih untuk menjelaskan yang mana? semuanya? berapa waktu yang akan habis untuk menerangkan semuanya, terlebih agar setiap definisi mampu kontekstual pada diri setiap pendengarnya?

beda halnya saat itu disampaikan lewat cerita. bahwa ada seorang musafir yang ingin beristirahat tetapi ia lupa tidak bawa tali untuk mengikat keledainya itu (catatan: cerita ini saya dengar dari blog milik Reza Wattimena, sercing aja, bagus kok blognya).

atas saran dari seorang tua yang sedang melintas dan mengetahui kebingungannya, pemuda ini melakukan sarannya, yaitu pura-pura mengikatkan tali ke leher keledainya dan diikatkan di sebuah pohon.

alhasil, saat sang pemuda musafir itu terbangun dari lelap istirahatnya, si keledai ini tetap di tempatnya, meringkuk seolah-olah ia benar-benar diikat.

pemuda itu hendak melanjutkan perjalanan, tetapi kebingungan kembali mampir ke pikirannya. ya, keledai satu ini tidak mau beranjak meski sudah dicoba diseret biar bangun.

ternyata, ketika teringat saran dari orang tua yang melintas itu, ia coba saja: sang pemuda pura-pura melepaskan ikatan dari leher keledainya. padahal sebenarnya tentu saja tidak ada tali di sana.

akhirnya sang keledai mau beranjak bangun, dan lagi-lagi, contoh ini selesai di sini.

dari sebuah cerita ini, kemudian baru dilanjut dengan kontekstualisasi, misalnya, kita adalah keledai itu yang seringkali merasa terikat dan terjepit, padahal sebenarnya itu semua adalah bentukan abstrak dari otak kita sendiri. jadi, bukankah kita sedikit memahami definisi kesadaran kebebasan versi kita sendiri, tidak peduli masing-masing dari kita menghasilkan definisi yang berbeda?

itulah yang membuat cerita sangat penting untuk pewarisan nilai-nilai luhur antar sesama manusia.

***

cerita memang bisa sedemikian kontekstual. ia bagi saya pada dasarnya adalah fiksi, dimana kita tidak akan lagi berdebat mengenai bentuk dan ketersinggungan atas teknis ceritanya. kita bahkan bisa langsung dibawa pada esensi ---bagian paling dalam yang membawa kita berpikir ulang dan meningkatkan kesadaran intuitif kita sendiri tanpa sengaja.

antara menulis dan bercerita punya keunggulan dan kelemahan masing-masing. misalnya, kelemahan tulisan adalah ia dapat ditafsirkan siapa saja sesuai dengan kapasitas masing-masing. ini tidak menjadi soal sebenarnya, tetapi bagaimanapun, isi sebuah tulisan terikat dengan kata-kata. dan kita tahu kata-kata tak mampu mendefinisikan secara valid mengenai perasaan kita saat sedang kasmaran. dimana air mata cemas, rindu, dan bahagia kadang-kadang sama belaka.

keunggulan tulisan ada pada dimensi keabadiannya. saat tulisan selesai dibuat, selama ia masih terbaca, maka ia akan ada bahkan diperbarui lagi oleh para pembacanya.

berbeda dengan cerita, yang bagaimanapun, ia terbatas pada ingatan, sementara semakin lanjut usia; semakin kita punya prioritas baru, maka ingatan tentang sebuah cerita akan semakin kusam dan usang, bahkan lenyap.

tetapi, karena antara menulis dan bercerita nisbi saling melengkapi, apa yang akan terjadi ketika kita menyukai keduanya? kita mempelajari keduanya, mengenai tulisan yang hidup dan cerita yang sesuai dengan bacaan, tangkapan kita atas nuansa sekeliling kita tempat bercerita?

bagaimana jika yang menguasai keduanya semakin banyak dan tersebar di mana-mana?

rasa-rasanya, kalau diizinkan berspekulasi, mungkin hal sederhana itu akan mampu memperbaiki banyak hal. tidak hanya sosial. tidak hanya budaya. tetapi mungkin juga peradaban!

oh, atau bahkan, mungkin, dunia? []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun