Perdebatan tentang sumber dan hakikat pengetahuan manusia telah berlangsung sejak lama dalam sejarah filsafat. Sebagian berpendapat bahwa semua pengetahuan bersifat empiris, sementara yang lain meyakini adanya pengetahuan murni yang mendahului pengalaman. Namun, pengamatan yang lebih cermat menunjukkan bahwa pengetahuan manusia sebenarnya memiliki beberapa level yang saling terkait.
Level paling dasar adalah pengetahuan murni empiris yang diperoleh langsung melalui pengalaman inderawi. Ini adalah pengetahuan yang paling primitif namun paling pasti karena bersifat langsung dan personal. Ketika kita merasakan panas api, mengecap rasa manis gula, atau melihat warna merah, kita mengalami pengetahuan jenis ini. Tidak ada proses abstraksi rumit yang terlibat, hanya pengalaman langsung dari sensasi inderawi.
Level kedua adalah pengetahuan empiris intuitif yang muncul dari akumulasi dan internalisasi pengalaman empiris. Pada level ini, pengetahuan tidak lagi sepenuhnya sadar atau langsung seperti sensasi inderawi, namun tetap bersifat empiris karena berakar pada pengalaman. Contohnya adalah ketika kita berjalan di tempat gelap dan merasakan ketidaknyamanan atau bahaya potensial, ini bukan hasil pengamatan langsung melainkan hasil dari pengalaman-pengalaman terdahulu yang terinternalisasi. Atau ketika seorang ahli dapat langsung mengenali masalah dalam sistemnya tanpa analisis formal, ini adalah hasil dari akumulasi pengalaman yang membentuk semacam intuisi seorang profesional.
Level ketiga adalah pengetahuan yang tampaknya melampaui pengalaman empiris namun tetap berakar padanya. Ini adalah level paling abstrak dan kompleks, mencakup konsep-konsep seperti keadilan, ketuhanan, dan logika matematika tingkat tinggi. Meski konsep-konsep ini tidak langsung terlihat dalam pengalaman inderawi, mereka tetap terkait dengan pengalaman manusia. Misalnya, konsep keadilan berkembang dari pengalaman menghadapi ketidakadilan, sementara matematika abstrak berakar pada pengalaman dasar menghitung dan mengukur.
Ketiga level ini tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan membentuk suatu kontinuum pengetahuan yang saling terkait. Level yang lebih tinggi selalu berakar pada level di bawahnya, namun juga mentransendensi batas-batasnya. Proses ini bersifat dialektis, di mana setiap level baru muncul dari pengembangan dan pelampauan level sebelumnya. Ini menjelaskan mengapa pengetahuan manusia bisa sekaligus bersifat empiris dan melampaui empiris.
Pemahaman tentang level-level pengetahuan ini penting bagi epistemologi. Ini menunjukkan bahwa perdebatan antara empirisme dan rasionalisme mungkin terlalu menyederhanakan masalah. Pengetahuan manusia tidak bisa direduksi menjadi sekadar empiris atau non-empiris, melainkan merupakan sistem kompleks yang berkembang secara bertahap dari pengalaman langsung menuju abstraksi tingkat tinggi, namun tetap berakar pengetahuan manusia didahului oleh objek dan fenomena tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H