Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pola Pemenangan Pemilu Kesatuan Komando Blocking Area Zonasi TPS

2 April 2023   01:50 Diperbarui: 2 April 2023   22:57 882
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DASAR OPERASIONAL PROSEDUR TERITORIAL

A. Dasar Pemikiran

Dalam pemenangan pemilu akan selalu dihadapkan pada penggunaan strategi. Pengertian strategi secara umum artinya pemimpin yang bisa dipahami jendral atau komandan. Secara harfiah adalah pemberi perintah, secara luas dipahami pegangan prinsip atau pedoman dalam mengambil keputusan atau bertindak. Kaitannya dengan pemenangan pemilu berarti kesatuan perintah atau kesatuan komando. 

Jika diterjemahkan pada hal taktik, yakni keputusan prinsip target suara untuk menang atau dapat satu kursi, keputusan aturan kerja-kerja pemenangan, keputusan komitmen kerjasama semua unsur. Jika itu individu per-individu bagaimana membangun dan mendapatkan kekuatan untuk keberhasilan perintah terlaksana maksimal. 

Secara umum strategi dipahami segala pendekatan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Sederhananya, pedoman prinsip keputusan atau peraturan-peraturan tindakan untuk mencapai sesuatu dalam rentang waktu tertentu yang dipimpin oleh seorang komandan setiap tingkatan.

Hal ini sejalan dengan pola comandante stelsel, kata ini dari bahasa Belanda jika diartikan ke bahasa Indonesia artinya sistem komando. 

Dalam strategi pemenangan tidak ada jalan lain harus dengan jalan kesatuan komando yang tegas, kesatuan perintah yang kuat untuk mengerahkan semua potensi. 

Untuk mencapai tujuan itu, strategi menjadi penting sebagai satu pedoman untuk keberhasilan serta memilih prioritas capaian yang dipimpin oleh orang yang punya kekuatan untuk memberikan perintah atau pengerahan tindakan.

Kaitannya dengan pemenangan pemilu, sistem komando ini jika ditingkat kabupaten adalah ketua partai sebagai representatif kewenangan partai yang dibantu oleh pengurus struktural lainnya di DPC, kordinasi yang sesuai keputusan peraturan partai pada PAC, Ranting, Anak Ranting, serta tiga pilar partai lainnya, termasuk kandidat yang diusung pada pemilu 2024. Artinya dalam kerja-kerja pemenangan adalah ketegasan komando ketua partai untuk mengerahkan potensi untuk mencapai tujuan. Dalam taktis dilapangan sebagai komandan tempur "ground" adalah para caleg dan PAC, terutama terkait target suara minimal bagi caleg dan penguasaan kawasan/basis bagi PAC. 

Disini tidak ada yang jalan sendiri-sendiri tapi satu kesatuan komando/perintah sesuai keputusan peraturan partai. Inilah prinsip umum comandante stelsel dalam menguasai lapangan kawasan perebutan suara untuk memperoleh kekuasaan/kursi di legislatif maupun eksekutif. Tentunya itu berkaitan zonasi TPS sebagai "ground" pertarungan/pertempuran memenangkan pemilu 2024.

B. Rumusan Probabilitas Pemenangan Pemilu 

Dengan sistem pemilu proporsional kita bisa menentukan target suara untuk jadi anggota legislatif atau dapat satu kursi. Beda dengan sistem pemilu distrik/plurality yang tidak bisa dengan menentukan target suara, disini untuk menjadi pemenang bagaimana harus menguasai kawasan/basis pemilih secara mayoritas. 

Di Indonesia pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional yang bisa dipahami satu dapil ada beberapa alokasi kursi, bisa memprediksi peluang dengan menentukan target suara minimal untuk mendapatkan satu kursi. Yakni dengan memperkirakan tingkat kehadiran dan perkiraan suara sah. Dengan begitu, perkiraan suara sah dibagi alokasi kursi dalam satu dapil, angka itu menjadi target suara untuk menang atau dapat satu kursi. 

Di Lamongan dalam satu dapil mengacu hasil pemilu 2019 yakni 67% suara sah dari 77% tingkat kehadiran pemilih, dari 210.000 DPT dalam satu dapil rata-rata. Kurang lebih 67% itu yakni 140.700 suara. 140.700 dibagi 10 alokasi kursi rata-rata satu dapil yakni 14.070. Tidak perlu suara mayoritas cukup bisa dapat 14.070 suara bisa dipastikan partai tersebut mendapatkan satu kursi. 

Walaupun secara rumusan probabilitas dalam sistem proporsional, ada rumusan sepertiga alokasi pertama kursi kemungkinan memenuhi target suara minimal 14.070, yakni di distribusi sainte lague partai yang memperoleh kursi urutan pertama hingga ke tiga. Sepertiga alokasi kedua yakni partai peroleh kursi ke empat hingga ke delapan memenuhi target suara minimal 70% dari 14.070 yakni sekitar 10.000 suara. 

Alokasi sepertiga terakhir 70% dari 10.000 sekitar 7.000 yakni partai peroleh kursi ke sembilan dan sepuluh. Itu rumusan jika 10 kursi dalam satu dapil, tapi tidak beda jauh hitungan sepertiga pertama, kedua, dan terakhir jika alokasi kursi dalam satu dapil itu kurang dari 10 kursi, misal hanya 8 atau 11. 

Rumusannya tetap sepertiga pertama 100% target minimal kursi, sepertiga kedua 70% dari pertama, sepertiga terakhir 70% dari kedua. Artinya jika partai dalam sainte lague, akumulasi suaranya ketika dibagi bilangan ganjil (1,3,5,7,dst.) masih tersisa 7.000 lebih atau 70% terakhir sepertiga diatas dari target suara minimal bisa dipastikan masih berpeluang dapat kursi sepertiga terakhir yang jika 10 alokasi kursi memperoleh kursi urutan ke sembilan atau sepuluh. 

Ini rumusan probabilitas sistem proporsional di dapil manapun dengan DPT atau alokasi berapapun. Maka caleg yang jalan sendiri-sendiri biasanya hanya menargetkan suara kisaran 30% hingga 50% dari target suara minimal. Sedangkan pemilu 2024 berbarengan dengan pilpres, untuk kepentingan memenangkan pemilu 2024 diharapkan linier suara pileg dan pilpres, dimana pilpres untuk menang bukan target suara minimal tapi mayoritas diatas 50%+. 

Maka perlu ada ketegasan partai dalam keputusan partai untuk itu, demi kemenangan partai secara umum yakni bagaimana calegnya tidak hanya memenangkan dirinya untuk dapat kursi sendiri tapi juga memberikan dampak kemenangan di pilpres juga. Tidak ada jalan lain maka dengan comandante stelsel partai dan zonasi TPS harus diterapkan serta diterima oleh semua unsur.

Sebab kalau di sistem plurality persentase harus tertinggi rata-rata diseluruh kawasan tersebut, jadi bukan akumulasi angka pasti seperti sistem proporsional yakni target suara minimal tapi akumulasi persentase mayoritas dalam sistem plurality. Jadi dalam sistem plurality tidak bisa menargetkan angka target suara minimal tapi harus menguasai kawasan/basis untuk mendapatkan persentase tertinggi dari kandidat lain. Maka tidak heran sistem plurality atau pluralitas dikenal juga sebagai sistem mayoritas, selain diartikan sistem distrik. Pemahaman distrik ini jelas penguasaan mayoritas kawasan/basis.

Sistem plurality dimana satu dapil hanya memperebutkan satu kursi, maka untuk menang atau dapat satu-satunya kursi tersebut pendekatannya penguasaan kawasan atau basis dari pada target suara minimal, hal ini seperti pemilu eksekutif kalau di Indonesia. Maka pendekatan survei acuan penentuan kemenangan untuk sistem proporsional lebih pada elektabilitas, sedangkan sistem plurality menekankan akseptabilitas sebagai acuan perkiraan pemenang akhir. 

Bisa disimpulkan di pileg dengan sistem proporsional lebih mementingkan suara, tidak heran ini dilapangan banyak konflik di penghitungan suara. Sedangkan pilpres dengan sistem plurality lebih mementingkan kawasan/basis, penguasaan lapangan/distrik untuk mendapatkan persentase suara tertinggi/mayoritas. 

Maka ground untuk pileg adalah di lebih di pengerahan dan pengamanan suara, sedangkan ground pilpres/eksekutif lebih menekankan penguasaan kawasan dan basis warga masyarakat. Jika dapat mensinkronisasikan perkiraan keadaan perilaku pemenangan itu akan sangat memaksimalkan pemenangan dan perolehan suara. Tapi jika jalan sendiri, maka peluang jadi partai pendominasi akan hilang dengan modal yang dimiliki saat ini.

Pada pemilu 2024 pemilu legislatif dan eksekutif bersamaan, walaupun eksekutif tersebut hanya memilih pasangan capres untuk eksekutif nya. Maka mau tidak mau partai harus menggabungkan metode target suara minimal dan penguasaan kawasan/basis. Untuk kemudahan kita singkat pendekatan target suara yakni comandante stelsel dan penguasaan kawasan/basis sistem zonasi. Artinya, dalam pemenangan legislatif kita tidak perlu menguasai seluruh kawasan/basis, misal dalam satu dapil ada sepuluh desa, kita hanya perlu kerja pemenangan di dua desa sudah cukup asal maksimal untuk memenuhi target suara. Tapi kalau pemenangan eksekutif/pilpres harus menguasai semua kawasan/basis, semisal ada sepuluh desa maka harus kerja pemenangan di semua desa itu, dengan prinsip persentase kemenangan di setiap desa secara rata-rata harus tertinggi dari kandidat lain. 

Apalagi khusus pilpres ada ketentuan 50%+ untuk dinyatakan pemenang, jika lebih dari dua pasang tidak boleh ada dibawah 20% perolehan suaranya dalam satu provinsi. Maka kombinasi target suara minimal dan penguasaan kawasan akan sangat penting untuk memenangkan pemilu 2024 (Pileg dan Pilpres), selain itu saling menguntungkan untuk memaksimalkan perolehan suara. 

Dengan pemahaman ini, pemenangan caleg harus dibagi proporsional alokasi zonasi TPS untuk mendapatkan target suara minimal setiap caleg, yang artinya untuk kepentingan pilpres tidak ada TPS yang kosong atau tidak dikuasai oleh caleg dan partai secara umum. 

Semisal dalam satu dapil ada 900 TPS dibagi 10 caleg yakni 90 alokasi setiap caleg, akan tetapi karena mempertimbangkan kekuatan caleg dan kebutuhan logistik maka secara realistis dibagi secara proporsional, yakni caleg incumbent dua kali sampai dengan tiga kali alokasi TPS yaitu 180 zonasi TPS atau 270 alokasi TPS. Caleg prioritas 90 zonasi TPS hingga 180 zonasi TPS, caleg pendamping 45 zonasi hingga 90 zonasi TPS. Dengan ketentuan caleg incumbent tidak boleh kurang dari 180 zonasi TPS dan di perioritaskan bertambah, caleg prioritas dan pendamping bisa bertambah atau berkurang bergantung evaluasi setiap tiga bulan.

Untuk pemilu 2024 secara simulasi akan sangat maksimal dengan pendekatan zonasi dulu baru mengikuti pendekatan target suara minimal. Artinya, partai yakni struktural harus menguasai atau kerja di semua kawasan/basis agar persentase kemenangan partai tertinggi dari partai lain, baru caleg dalam kawasan/basis tersebut dibagi-bagi daerah kerja untuk mengembangkan basis dan memaksimalkan suara. Dengan begitu suara capres usungan partai diharapkan tertinggi secara persentase atau mendapatkan suara mayoritas, sedangkan caleg memaksimalkan target minimal suara. Kawasan/basis yang dimaksud disini adalah TPS secara keseluruhan.

Maka perlu dipahami cara kerja taktis dilapangan bagaimana kerja-kerja zonasi dan target suara minimal, hal ini untuk membagi kerja setiap unsur mulai dari pengurus struktural, caleg, tim caleg, tim pilpres, dan partisan/relawan. Terutama yang paling penting menarik dukungan dari piramida partisan, lapisan/irisan pemilih, pola perilaku pemilih di setiap kawasan yang lebih kecil hingga secara umum, serta kelompok di saluran-saluran politik lainnya. 

Jika bicara beban kerja Pilpres yang kemungkinan akan ada dua putaran kedua ketika lebih dari dua pasang calon, kenapa tidak dimaksimalkan satu putaran saja dengan pemahaman ini. Mending kerja sekali dari pada kerja dua kali yang beban kerja pada putaran kedua akan lebih berat dan biaya yang lebih besar, sebab kekuatan di caleg secara tim kerja dan biaya tidak ada lagi di putaran kedua. Maka prinsipnya, dua pasang atau lebih di pilpres pada putaran pertama yang berbarengan dengan pileg harus maksimal menang satu putaran.

C. Kewajiban Partai dan Perkiraan Keadaan 

Comandante stelsel dan zonasi TPS bisa dilaksanakan dengan maksimal asalkan ada keputusan tentang prinsip, peraturan pembagian kerja, kewenangan, dan tanggung jawab kerja-kerja pemenangan setiap bagian unsur. Setidaknya, minimal jika ditingkat cabang diputuskan dalam rapat kerja DPC diperluas. Tentunya peraturan itu agar benar-benar dijalankan oleh semua unsur harus mengandung imbalan dan hukuman, atau kekuatan yang bersifat memaksa. Tapi sebelum itu partai harus memenuhi kewajibannya dan tanggungjawabnya, agar segala unsur partai juga memenuhi tugas, wewenang, dan tanggungjawabnya.

Kewajiban partai secara umum yakni;

1. Memberikan pendidikan politik bagi anggotanya memperoleh kualifikasi kepemimpinan dengan jalan perkaderan, 

2. Partai secara organisasi dan manajemen memberikan pelayanan dan dukungan bagi kader partai calon pemimpin di lembaga-lembaga negara untuk melakukan kampanye-kampanye untuk mendapatkan kekuasaan,

3. Tidak kalah penting organisasi dan manajemen partai tersebut menarik dukungan untuk calon kepemimpinan lembaga-lembaga negara dengan jalan kerja-kerja partai menciptakan mindset kedekatan (party identity/ID) di anggotanya, masyarakat, bangsa, dan negara, 

4. Partai secara organisasi dan manajemen mampu mempengaruhi kebijakan lembaga-lembaga negara, berpartisipasi mempengaruhi jalannya pemerintahan dengan pemimpin partai di pemerintahan, membentuk komunikasi politik dan mempengaruhi opini publik untuk menarik dukungan bagi kepemimpinan partai di pemerintahan.

Kewajiban ini di partai kita sudah dijalankan dan sangat maksimal, kaitannya dengan pemenangan yang bersifat taktis dan operasional perlu lebih di spesifikasikan dan lebih diterjemahkan lebih operasional untuk kepentingan pemenangan pemilu, sebagaimana yang di bahas disini. Lebih diterjemahkan pada kerja-kerja semua unsur, dengan menganalisis perkiraan keadaan mulai dari awal penjaringan caleg hingga pemungutan suara sampai penetapan hasil pemilu. Mengurai tugas setiap unsur dan beban kerja, semacam program kerja rencana strategis tahapan kerja.

Perkiraan keadaan zonasi TPS dalam artian penguasaan kawasan/basis hingga pengerahan suara untuk memenuhi target suara minimal. Dalam penguasaan kawasan/basis dalam satu TPS kita istilahkan blocking area. Gambarannya, dalam satu TPS kita blocking mindset masyarakat setempat dengan menjadikan orang yang bisa diterima oleh lingkungan tersebut sebagai yang ditokohkan. Dalam satu TPS biasanya ada beberapa lingkungan, bisa beberapa RT, gang, dusun, kelompok rumah dll. 

Gampangnya, dalam sepuluh rumah sampai dua puluh rumah kita butuh satu relawan, akan tetapi bergantung zoning ada berapa orang kah di lingkungan tersebut yang bisa dijadikan relawan, bisa banyak atau cukup satu orang dalam satu TPS. Relawan yang penting tokoh atau orang yang berpengaruh dilingkungan tersebut, gampangnya untuk menentukan tokoh yakni dipandang secara status, ekonomi, atau jiwa sosial nya. 

Selanjutnya bagaimana relawan tersebut diterima masyarakat sekitar dengan cipta situasi yakni melakukan aksi kegiatan sosial entah bagi bantuan sosial atau mengadakan kegiatan sosial lainnya, yang intinya relawan tersebut kita tokohkan dilingkungan tersebut atau minimal jadi pusat perhatian. Selanjutnya cipta kondisi basis, agar pemahaman masyarakat sekitar dan orang diluar lingkungan tersebut adalah basis partai yakni dengan pasang bendera partai di depan rumah relawan tersebut. 

Dalam cipta kondisi bendera sangat penting ketimbang lainnya, artinya alat peraga kampanye lainnya bisa saja digunakan tapi dihitung hanya sebatas pendukung saja, misal itu kalender, pamflet, banner, sticker, dll. Tapi ketimbang alat peraga kampanye di taruh di jalan raya/poros yang gak berdampak apapun, lebih baik ditaruh dilingkungan tersebut kalau bisa di rumah-rumah. Dalam kawasan/basis, inti dari gerakan cipta situasi adalah relawan kita diterima masyarakat sekitar, inti dari gerakan cipta kondisi adalah bagaimana masyarakat sekitar menerima simbol partai.

Jika sudah tercipta situasi dan kondisi seperti diatas, maka mudah mengajak masyarakat sekitar pada calon legislatif maupun eksekutif, mudah mengerahkan suara, mudah mengamankan suara, dan yang pastinya mudah mencapai persentase suara tertinggi maupun mencapai target suara minimal. Cipta situasi dan kondisi ini tentu bukan perkara mudah, mulai bagaimana orang tersebut mau menjadi relawan hingga diterima masyarakat sekitar, hingga melakukan aksi sosial, berani pasang bendera dan mempertahankannya. Selain itu biaya yang tidak sedikit dan mahal, kecuali pokir, jasmas, program dari pemerintah selama ini ditujukan untuk kepentingan membangun relawan, dikerahkan untuk menjaga dan merawat relawan.

Selain itu, membangun relawan untuk cipta situasi dan kondisi seperti diatas perlu kerja keras partai menarik dukungan dari saluran politik dan proaktif di setiap tingkatan piramida partisipasi politik. 

Dalam pemahaman ini, kerja partai sebagai komandan utama mulai tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi, dan nasional lebih besar dari pada kerja calon dan tim pemenangan calon. Sebab satu komando dalam penguasaan kawasan/basis tidak bisa caleg atau calon eksekutif dan tim pemenangannya saja, sebab mereka kerja saat event pemilu saja, sedangkan bagi partai bisa dikatakan kerja sepanjang hayat. 

Relawan tingkat TPS atau di beberapa titik lingkungan dalam kawasan TPS, adalah representatif partai dan kandidat calon legislatif maupun eksekutif. Jika relawan kita tidak diterima atau tidak ditokohkan dimasyarakat lingkungan tersebut, maka lingkungan tersebut tidak akan menerima simbol partai, apalagi calon kita untuk dipilih suatu hal mustahil. 

Kenapa harus zonasi TPS, tidak desa atau kecamatan bahkan kabupaten sebagai daerah kerja blocking. Sebab negara kita sistem feodal sudah tidak ada, tidak seperti di negara lain. Bahkan bisa dikatakan Indonesia adalah satu-satunya yang punya UU tentang agraria, yang membatasi kepemilikan tanah tiap individu hanya 5 hektar untuk daerah padat penduduk, diluar jawa yang tidak padat penduduk maksimal 20 hektar. 

Berbeda seperti di negara lain, misal Inggris, Amerika, dan negara-negara Eropa yang bisa dibilang sangat demokratis tapi masih banyak tuan tanah atau feodalistik masih bertahan. Jadi sangat mudah menarik dukungan atau pengerahan suara jika menguasai mereka, maka tidak heran partai kuat di negara-negara tersebut hanya dua yakni konservatif yang dibelakangnya banyak tuan tanah dan partai sosialis yang dibelakangnya banyak buruh. 

Di Indonesia, dengan adanya UU agraria tersebut mempengaruhi struktur sosial-ekonomi masyarakat yang kekuatannya tidak hanya tuan tanah dan buruh, tapi kecil-kecil banyak variabel. Jadi tidak ada pilihan lain untuk menguasai kawasan adalah zonasi TPS untuk mendapatkan persentase suara tertinggi dan target minimal suara. Bahkan zonasi tingkat desa pun riskan untuk mengontrolnya. Maka saking banyaknya variabel tersebut, caleg dibebaskan untuk memilih TPS sesuai keterimaan caleg di lapisan/irisan pemilih. Jika pun ada kesamaan zonasi TPS antar caleg, di bikin alokasi zonasi TPS, serta untuk kepentingan memaksimalkan suara jika ada satu zonasi TPS yang sama asalkan beda titik lingkungannya atau lapisan/irisan pemilihnya tidak ada soal atau dibolehkan, tetapi dengan ketentuan tetap target setiap caleg rata-rata 100 suara per-TPS. 

100 suara itupun jika TPS tidak berubah jumlahnya atau tidak jauh berbeda seperti pemilu 2019. Kalau pun berubah, maka ketentuannya target caleg setiap TPS adalah memperoleh suara sekitar 40% dari DPT dalam satu TPS tersebut. Pada pemilu 2019 satu TPS rata-rata 250 suara yang 40% dari itu 100 suara. Harapannya suara legislatif linier dengan suara pilpres, dengan asumsi jika dapat suara 40% dari DPT dalam satu TPS dengan tingkat kehadiran 77% (40:37) dan suara sah 67% (40:27) maka angka 40% dari itu (tingkat kehadiran dan suara sah serta 10% margin eror) masih mayoritas atau diatas 50%+ di TPS tersebut suara untuk pilpres. Hal ini sebab ada ketentuan di pilpres pemenangnya adalah pasangan capres yang memperoleh suara 50%+ untuk dinyatakan pemenang dan dilantik.

Pembiayaan untuk cipta situasi dan kondisi ini untuk mencapai persentase suara tertinggi dan target suara minimal sudah bisa diperkirakan. Misal target suara 100 suara untuk pemberangkatan 50 ribu yakni 5jt. Di jawa rata-rata penduduk satu KK 3,6 orang atau dalam satu KK rata-rata ada 3 DPT maka 100:3 adalah 33 KK atau rumah target aksi gerakan sosial untuk mengokohkan keterimaan relawan sekaligus memperkenalkan kandidat (misal bansos bahan pokok, alat peraga kalender, sticker, dll) misal aksi sosial ini 50 ribu tiap rumah yakni 1.650.000 ditambah biaya operasional 350 ribu misalnya jadi total 2jt. Pembentukan relawan setiap 10 KK atau rumah 1 orang yang berarti butuh tiga relawan, biaya tiga kali pertemuan mulai pembentukan hingga kordinasi 100 ribu tiap pertemuan 100.000 x 3 orang x 3 pertemuan yakni 900 ribu. 

Biaya pasang dan jaga bendera di rumah masing-masing relawan 100 ribu kali tiga orang 300 ribu. Biaya saksi 200 ribu. Jadi total yakni 8,4 juta untuk operasional penguasaan kawasan/basis untuk mendapatkan persentase suara tertinggi dan mencapai target suara minimal, hal ini belum biaya tidak terduga untuk operasi kerja pemenangan lainnya, asumsikan saja butuh biaya 10 juta untuk satu TPS dengan asumsi perolehan 100 suara. Hal ini dibagi dua kategori, yakni biaya pemberangkatan 5jt dan biaya operasional 5jt. 

Dari sini sudah bisa diperkirakan biaya yang harus dikeluarkan setiap caleg sesuai alokasi zonasi TPS. Misal caleg incumbent alokasi 180 TPS berarti butuh 1,8M. Caleg prioritas 90 TPS yakni 900 juta, caleg pendamping 45 TPS yakni 450 juta. Tapi dari biaya itu untuk menekan margin eror atau untuk memaksimalkan perolehan suara bukan di besar kecilnya biaya pemberangkatan, tapi keefektifan biaya operasional terutama di poin cipta situasi dengan aksi sosial dan poin cipta kondisi dengan pemasangan bendera. Indikator dari blocking area adalah relawan yang diterima oleh masyarakat setempat dan warga setempat sudah terbiasa dengan simbol partai.

Seringkali dilapangan biaya pemberangkatan tidak maksimal yang bahkan lebih dari 50% margin eror karena tidak pernah mengeluarkan biaya operasional atau operasional kurang di maksimalkan untuk cipta situasi dan kondisi yang artinya keadaan blocking area tidak terbentuk. Misal yang umum dilapangan jadi problem, punya relawan tapi tidak diterima oleh masyarakat setempat hingga uang pemberangkatan yang ada di relawan tidak tersampaikan atau ditolak oleh warga setempat, uang tersampaikan tapi tidak tahu relawan yang menyampaikan, artinya tidak pernah bangun relawan tapi langsung sebar uang maka jangan salah jika lebih 80% margin eror atau hangus uang pemberangkatan.

Biaya tentu besar, jika berjalan sendiri-sendiri dalam pengerjaan pemenangan. Tentunya juga jika begitu kurang efektif, maka perlu kerjasama semua unsur. Dalam pengerjaan pemenangan kita kenal tiga bagian pengerjaan, yakni zoning, blocking, dan canvasing. Pekerjaan zoning atau bisa dipahami pemetaan yakni pendataan kekuatan politik (lih. saluran politik) dan kekuatan partisan (lih. piramida partisipasi), dalam pekerjaan zoning lebih pada tanggung jawab partai dalam menjalankan kewajiban partai poin 3 dan 4 diatas (lih. tiga pilar partai), beban partai disini 75% dan kandidat 25%. Sedangkan pekerjaan blocking area dengan pekerjaan cipta situasi dan kondisi bisa dikatakan 50:50 antara partai dan kandidat. Sedangkan pekerjaan canvasing yakni pengerahan dan pengamanan suara beban tanggung jawab partai 25% dan kandidat 75%. 

Artinya jika di urut, maka pekerjaan canvasing dan blocking tidak akan maksimal jika pekerjaan zoning dalam artian partai kurang maksimal memenuhi kewajibannya. Persentase beban tanggung jawab pengerjaan juga bicara pembiayaan yang harus ditanggung, artinya untuk kesuksesan pemenangan beban kerja dan biaya antara partai dan kandidat sama, yakni 50:50 bisa dikatakan. 

Bisa dipahami secara sederhana, pekerjaan dan pembiayaan pemberangkatan adalah tanggung jawab kandidat, sedangkan pekerjaan dan pembiayaan operasional cipta situasi-kondisi adalah tanggung jawab partai. Jika singkronisasi pekerjaan dan pembiayaan satu komando maka tentunya akan ringan pekerjaan dan pembiayaan semua unsur serta akan sangat maksimal capaian pemenangan pemilu. Dengan semacam pembiayaan ditanggung renteng semua unsur, apalagi nanti partai mengawal 4 kandidat, yakni caleg DPRD kab/kota, provinsi, RI, dan pasangan Capres.

Maka secara realistis pragmatis tentang hasil, keuntungan, dan apa yang didapat nantinya harus dibagi proporsional. Hal ini untuk menjaga kemenangan atau kekuasaan yang didapat tidak hanya bicara soal bagaimana membangun kekuatan pasukan dan menarik dukungan kepercayaan rakyat, tapi yang lebih penting meredam konflik atau menekan pembangkangan/pemberontakan. Tidak ada jalan lain untuk itu yakni kerjasama dalam satu komando dengan komitmen kompensasi. Misal komitmen itu yakni jika ada caleg yang tidak jadi, maka diganti biaya persuara oleh caleg yang jadi atau partai. 

Pokir dibagi 50% caleg yang jadi, 10% caleg yang tidak jadi, 10% DPC, 30% PAC dan Ranting. Serta komitmen lainnya untuk menjaga semangat tempur semua unsur dan berbagai kemungkinan konflik yang akan muncul sudah diantisipasi dengan komitmen kompensasi yang realistis. Harapannya, mulai prosesnya merebut hingga mempertahankan kekuasaan tetap stabil dan maksimal. Hal ini prinsip tanggung renteng modal, hasil, dan resiko.

Konklusi, dalam pembahasan ini partai dan kandidat tidak bergantung pada hasil survei walaupun sebagai pertimbangan juga penting tapi tidak bisa jadi ukuran keberhasilan apalagi capaian pemenangan. Akan tetapi lebih percaya pada kekuatan sendiri, yakni kekuatan pasukan tempur relawan di lapangan. Dalam perang, relawan disini adalah pasukan infantri, artinya relawan disini sama dengan infantri yakni ratu dari pertempuran "Queen of the battle", sebab sasaran atau wilayah belum dapat dikatakan berhasil direbut sebelum diduduki dan dikuasai satuan Infanteri. Begitupun disini, sistem komando dan zonasi TPS ini ujung tombak keberhasilannya ada pada relawan atau infantri, selain bagaimana membangun kekuatan dan menarik dukungan warga masyarakat dalam satu kesatuan komando, dari semua unsur muaranya di relawan/infantri kita bagaimana menguasai ground. 

Artinya target suara minimal dan persentase suara tertinggi tidak akan maksimal jika relawan kita belum diterima masyarakat setempat dan simbol partai di warga masyarakat belum terbiasa (indikator blocking area). Maka partai mengerahkan potensi caleg (kota/kab, provinsi, RI) untuk bagi tugas dalam kerangka saling kerjasama/tandem dalam mencapai target suara minimal, sedangkan partai lebih pada pemenangan Pilpres untuk mencapai persentase suara tertinggi/mayoritas. Hal itu hanya penekanan beban kerja untuk mencapai target kemenangan, dalam prakteknya untuk selalu sinkronisasi beban kerja termasuk juga pembiayaan. Jadi dengan semacam itu memudahkan koordinasi relawan Pileg dan Pilpres bisa jadi satu kesatuan saling kerjasama untuk mencapai target suara minimal di Pileg dan persentase suara tertinggi di Pilpres.

D. Rencana Tindak Lanjut (RTL)

Dari pembahasan disini dapat gambaran apa saja peraturan partai khusus untuk sistem komando pemenangan (comandante stelsel) dan zonasi TPS. Sebagai saran mungkin beberapa keputusan peraturan yakni tentang;

a. SOP pemenangan pileg dan pilpres pada pemilu 2024 (Prinsip-prinsip pemenangan comandante stelsel dan zonasi TPS, target suara bagi caleg dan partai, alokasi zonasi TPS bagi caleg (kota/kab, provinsi, RI), kewajiban dan tanggung jawab PAC dalam blocking area, tahapan kerja dan indikator capaian, kewenangan Bapilu dan BSPN, sistem komando kordinasi DPC dalam evaluasi dan sinkronisasi capaian kerja pemenangan, pembagian tugas, wewenang, dan tanggungjawab setiap unsur) 

b. Kebijakan pembiayaan pemenangan pemilu dan komitmen kompensasi antar kandidat serta partai 

c. Program kerja menarik dukungan dari saluran politik (DPC)

d. Mempengaruhi atau proaktif dalam kebijakan pemerintah (kordinasi partai dengan fraksi/legislatif dan eksekutif)

e. Pedoman bimbingan dan pengarahan calon legislatif partai (tentang prinsip pembagian tugas kerja, target minimal suara, komitmen antar caleg dan partai, alokasi zonasi TPS, prosedur menarik dukungan warga masyarakat atau kegiatan aktivitas kampanye)

f. Renstra Pemenangan Pemilu 2024 Partai (tahapan kerja pemenangan mulai dari pendaftaran caleg hingga penetapan hasil pemilu dan indikator capaian)

g. Pedoman bimbingan tim pemenangan setiap caleg yakni minimal dua orang dari caleg untuk menjadi kader partai sekaligus staf pemenangan caleg yang merekrut (terkait kerja sistem komando, zonasi, alokasi TPS, schedule tahapan kerja, evaluasi dan sinkronisasi capaian, agenda kegiatan relawan, sistem kerja relawan, pencapaian indikator blocking area, protap operasional perluasan suara)

h. Pengarahan PAC sebagai tim inti pilpres dan pekerjaan zoning untuk zonasi TPS caleg (materi tidak jauh beda dengan tim caleg, tapi lebih menekankan pekerjaan zoning atau bagaimana membangun lahan basis bagi caleg dan capres dengan Ranting dan Anak Ranting, serta sebagai tim monev partai dalam kerja-kerja blocking area)

i. Prinsip kordinasi, pendampingan, dan evaluasi (perwakilan partai untuk setiap dapil untuk memimpin pertemuan tim caleg dan PAC, sebagai penengah atau kordinasi kerja, sinkronisasi, dan evaluasi awal sebelum ke Bapilu DPC dan Badan Kehormatan Partai)

Lampiran contoh-contoh;

1. SOP pusat data

2. Proposal caleg (hal kekuatan dan logistik 

3. Renstra dan Bitak (tahapan dan indikator pemenangan)

4. Program kerja dan perkiraan biaya operasional 

5. Tabulasi TPS dan sinkronisasi

6. Protap agenda kegiatan

7. Protap perluasan dan monev suara 

8. Konversi mapping

9. Penentuan RTL pengerahan dan pengamanan suara 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun