Pun begitu dengan Nasdem, ketika berdiri mengusung isu restorasi dalam mengumpulkan kekuatan tulang punggung seperti Golkar, tidak heran Nasdem memang dikatakan pecahan Golkar seperti Gerindra, Hanura, PKPI, dan terakhir Berkarya. Surya Paloh punya kekuatan jejaring group bisnisnya seperti Golkar mulai ujung Sumatra hingga Papua, maka tidak heran Nasdem mampu menjadi partai kelas menengah mengungguli Demokrat yang partai pemenang 2009. Ada Perindo dan PSI yang punya karakter sama dengan Nasdem dan Golkar, punya backup yang kuat dan jurnalistik yang mendalam. Sedangkan partai yang hanya punya backup kuat ada Demokrat, Gerindra, PKPI, dan PKS. Partai berbasis mayoritas masa ada PBB, PPP, PKB, dan PAN dimana kekuatan berbasis kekuatan akseptabilitas masanya. Sedangkan PDIP adalah partai kader dalam menerobos kekuatan semua itu di masyarakat multikultural dan heterogen karakter warga Indonesia.
Jadi, secara karakter partai dalam membangun basis dan menarik dukungan punya resep formulasi tersendiri dalam membangun persepsi opini dengan desain asumsi serta setting agenda menurut kekuatan partai masing-masing. Artinya, tidak hanya bicara kecenderungan peta politik dari hasil pemilu 2019 bagaimana Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur secara perolehan kursi, masih ada sisi kekuatan lain di luar pulau Jawa, backup kelompok-kelompok elit, media masa mainstream nasional, faktor struktur masyarakat multikultural heterogen atau mayoritas masa, dan lain sebagainya dalam mengkalkulasi proyeksi memenangkan Pemilu. Tidak perlu berkecil hati, secara hitungan diatas kertas memang iya Jawa Timur menjadi variabel penting, semua pasti akan berusaha memasang patron pemersatu partainya untuk diusung menjadi kandidat Pilpres.
Pada akhirnya masalah kalah atau menang masih bisa kerjasama dalam membentuk pemerintahan baru pasca Pemilu. Seperti SBY pemenang Pilpres 2004 tapi partainya memperoleh suara hanya 7,45% saja, merangkul partai yang jadi pesaingnya ketika Pilpres, pun begitu ketika 2009. Sama juga dengan Jokowi dalam membentuk pemerintahan 2014 dan 2019 yang merangkul partai yang tidak mengusungnya, bahkan Gerindra dan Prabowo serta Sandiaga Uno malah masuk kabinet Jokowi dan kerjasama di parlemen pada 2019, yang hal itu suatu mustahil diluar negeri seorang rival menjadi bagian dalam menentu pemerintahan baru pasca pemilu.
Sudah ada preseden baik dalam membangun bangsa dengan menjalankan pemerintahan walaupun partai bersaing dan bahkan di kandidat Pilpres menjadi saingan atau lawan tapi setelah itu untuk kepentingan negara tetap bisa bersatu. Sebagai negara mayoritas dan heterogen tentunya banyak pilihan baik, tapi jika tidak dibatasi juga kurang baik, yang penting asas multi partai dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika dengan masyarakat multikultural tidak ada perpecahan malah satu semangat kerjasama.Â
Secara teori dengan ada ambang batas pencalonan presiden memang bisa lima pasang, tapi prakteknya hanya akan ada empat pasang maksimal, tiada soal bersaing di Pileg dan Pilpres negara ini berbentuk republik yang pastinya berdasarkan demokrasi, tapi ingat pasca persaingan ada asas Bhinneka Tunggal Ika yang tujuan kita merebut kekuasaan secara konstitusional adalah bersama membangun bangsa dengan menekan ego perbedaan yang meruncing pada kompetisi yang buruk. Demi Indonesia Raya mari berkompetisi yang baik untuk saling memberikan yang terbaik pada bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H