Dalam buku Logical fallacy yang dituliskan oleh salah satu cendekiawan muslim indonesia yakni Ustadz Muhammad Nuruddin. Beliau dengan pengetahuan filsafatnya, di buku tersebut memberikan berbagai macam hal yang menguak bagaimana kesalahan-kesalahan berfikir yang kerap kali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Â Pada bagian awal dibeberapa pembahasan buku itu ada topik yang menarik bagi saya karna seketika ada rasa refleksi yang timbul.Â
Beliau mengangkat satu pertanyaan untuk memantik pembahasan dalam bagian buku itu, pertanyaannya Benar dan salah, bagaimana cara menentukannya?
Beliau dalam penjelasan dibuku itu mengatakan bahwa ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk dikemukakan dalam menentukan apa tolak ukur yang bisa digunakan untuk menentukan kebenaran dan kesalahan. Secara singkat ada 4 teori yang disebutkan yakni: kejelasan, kegunaan, korespondensi, dan konsistensi/koherensi. Yang menjadi latar belakang diangkatnya teori tersebut dengan bagaimana melihat realitas sosial kita yang cenderung dalam menentukan kebenaran itu pada suara terbanyak. Artinya, kalau suatu pandangan disetujui oleh banyak orang, terlepas mereka ahli dalam persoalan yang didiskusikan atau tidak, maka dengan serta merta pandangan itu menjadi benar. Pada bagian inilah yang seketika menimbulkan rasa refleksi itu, karna sebelumnya ada hal serius telah terjadi, yang sangat tidak etis sebagai individu yang memilih berorganisasi. Jelas bahwa ada hirarki dan culture menjadi acuannya organisasi itu dibentuk. Sehingga atas perbuatan itu menimbulkan sejarah baru yang menghilangkan citra bahkan rasa respect mereka. Malu sekali tentunya!
Seketika dengan menatap ke langit yang sedang menjemput pagi dengan hilangnya warna gelap berganti putih dilangit, dengan hembusan angin sejuk dan suara burung passeridae yang berkicau kesana kemari, aku teringat akan kejadian waktu itu. Dengan Hari-hari yang kini sudah tidak bisa kita rasakan bahkan mengiranya lagi, sebab pagi kini menjadi pertanda untuk mengistirahatkan diri, sedangkan malam untuk mengaktivitaskan diri. Rasanya aneh saja, karena ada transisi diri yang sebelumnya dihindari bahkan menganggapnya sebagai suatu ketidaknormalan.
Belum banyak yang dikorbankan, Namun sekiranya kau telah membawa diri sampai pada di titik ini. Titik dimana aku menganggapnya sebagai proses revolusi diri. Dengan bagaimana lingkungan mencoba serius dan masuk membantumu sebagai pengaruh yang paling besar. Mereka memupuk, menempa, mengasuh dengan sedemikian tulusnya. Secara terus terang memang itu melelahkan, bahkan jenuh sekali. Tapi apakah dengan begitu tak memiliki harapan? Harapan dalam bagaimana mencapai suatu keinginan awal kedatangan dan keinginanmu masuk?
Sehingganya, dengan membuka diri serta menarik nafas panjang, dan mengakui kesalahan dari apa yang sebelumnya diimani membuatku seketika berrefleksi.Â
Dan setelahnya, berkat dari sepenggal bacaan dari buku tersebut pada bagian yang kusebutkan tadi, timbullah kesimpulan dari hasil refleksi itu, bahwa mengelolah pikiran dan perasaan sebaiknya selalu diselaraskan untuk memutuskan suatu tindakan, melihat kejelasan dari kesesuainya dengan kenyataan, dan hal terpentingnya adalah mengemukakan rasionalitas. Sebab dengan begitu etika berfikir dan bertindak lebih jelas dan terarahkan.Â
Akhirnya, hal utama pasca dalam kejadian itu, melalui buku itu kutemukan satu jawaban yang memberikan harapan besar nanti ketika beranjak dari proses ini., yakni adalah "change in way of thingking". Bukan sekadar melaluinya tanpa membawa dan merubah apa-apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H