Mohon tunggu...
Abdur Rohman
Abdur Rohman Mohon Tunggu... Lainnya - Sak Madyo

Alumni Sosiologi UNS, Aktif di Kemenkumham RI (Bapas Kelas I Surakarta), Aktif di Rumah Seduh @tomboku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Risalah Mapala

21 September 2016   17:39 Diperbarui: 21 September 2016   17:49 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada 1953, setelah selesainya revolusi dan negeri ini berhasil meraih kemerdekaan, ada beberapa mahasiswa yang baru saja menyelesaikan pendidikan di Universitas Indonesia (UI) di Bogor ingin mengisi kemerdekaan dengan kecintaan terhadap negeri ini yang diwujudkan dengan mencintai alam.

Salah satu mahasiswa itu bernama Awibowo. Bersama beberapa kawannya, dia ingin mendirikan perkumpulan yang punya kegiatan-kegiatan di alam bebas. Saat itu mereka berkumpul dan berdiskusi menentukan istilah yang akan dipakai untuk menyebutkan perkumpulan itu.

Ada usulan untuk memakai istilah ”penggemar alam” atau ”penyuka alam”. Tapi, pada saat itu, Awibowo mengusulkan istilah ”pencinta alam”. Bagi dia, cinta lebih dalam maknanya daripada gemar atau suka. Gemar atau suka mengandung makna eksploitasi belaka.

Cinta mengandung makna mengabdi. Akhirnya, istilah ”pencinta alam” diterima. Kemudian, mereka menamai perkumpulan mereka itu dengan sebutan Perkumpulan Pencinta Alam (PPA).

Setelah terbentuk, PPA benar-benar mengisi kemerdekaan dengan didasari mencintai negeri dan semangat nasionalisme yang tinggi. Perkumpulan ini mengadakan beberapa kegiatan seperti ceramah-ceramah, penerbitan majalah, pertunjukan film tentang lingkungan alam, wisata alam, dan sebagainya.

Saat itu, PPA mampu menjadi wadah bagi pencinta alam untuk mengisi kemerdekaan dan mengabdi kepada negeri. Namun, sayangnya, karena situasi politik dan pengaruh komunis begitu kuat, pada akhir 1950-an, PPA tak terdengar lagi namanya. Kemudian tahun 1964, tepatnya pada 19 Agustus, mahasiswa-mahasiswa Fakultas Sastra UI mendirikan Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi (IPAM) di Gunung Pangranggo.

Anggota IPAM hanya beberapa orang mahasiswa Jurusan Arkeologi. Sayangnya, kelompok ini hanya berumur beberapa bulan. Kemudian muncul ide untuk mendirikan organisasi pencinta alam khusus bagi para mahasiswa sastra. Ide itu muncul dari pemikiran Soe Hok Gie pada 8 November 1964.

Akhirnya, pada 12 Desember 1964, berdirilah kelompok pencinta alam Sastra UI. Salah satu anggotanya, Udin, mengususlkan agar dinamai Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam (Impala). Namun, pada akhirnya, nama yang diterima adalah Mapala Prajnaparamitha. Nama ini usulan Moendardjito.

Selain singkatan dari mahasiswa pencinta alam, kata ”mapala” juga berarti berbuah atau hasil, dan Prajnaparamitha adalah Dewi Ilmu Pengetahuan. Mapala Prajnaparamitha inilah yang akhirnya berubah nama menjadi Mapala Universitas Indonesia (Mapala UI) hingga saat ini.

Alam dan Buku

Berbicara tentang pencinta alam tak melulu tentang mendaki gunung, menyusuri gua, menjelajahi hutan, panjat tebing, dan kegiatan alam bebas lainnya. Dari nama awal, yakni Mapala Prajnaparamitha, mengesankan bahwa kegiatan mapala haruslah berkontemplasi dalam dunia buku.

Mapala UI sudah membuktikan bahwa pencinta alam haruslah bergerak dalam dunia buku. Mereka pernah menerbitkan buku berjudul Di Bawah Panji Kehormatan. Buku itu berisi artikel-artikel perjalanan Mapala UI yang pernah dimuat di Kompas, Majalah Mutiara, Majalah Gadis,Warta UI, dan Buletin Mapala UI.

Buku itu juga menjadi bukti bahwa pencinta alam juga harus berkontemplasi dalam dunia kata. Selalu menulis dan ada baiknya disampaikan ke media massa. Buku itu memang dimaksudkan untuk merangsang pencitna alam lain agar rajin menulis di media massa, agar masyarakat umum bisa mengikuti semua kegiatan yang mereka lakukan (Ganezh, 2005).

Jejak pencinta alam yang berkontemplasi dalam dunia buku juga bisa kita lihat dalam buku Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan. Buku ini berkisah tentang keberhasilan tim Indonesia (gabungan Kopassus, Wanadri, Mapala UI, dan Federasi Panjat Tebing Indonesia/FPTI) menjejaki puncak tertinggi di dunia, Mount Everest, pada 1997.

Keberhasilan ini membawa Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mampu mendaki puncak Everest. Buku itu begitu heroik dan membanggakan. Dalam dunia buku dan ilmu pengetahuan, kita mempunyai tokoh panutan bernama Norman Edwin.

Norman adalah pencinta alam sekaligus intelektual yang bisa dijadikan rujukan para pencinta alam. Bagi Norman, menjadi pencinta alam bukan hanya berpetualang di alam bebas, tetapi juga berpetualang dalam tulisan, dalam dunia kata.

Norman merasa berdosa jika saat atau setelah berpetualang, ia tidak menulis. Norman seolah mewajibkan dirinya untuk selalu menulis. Ambisinya ini ia pertegas dengan menerbitkan buku berjudul Mendaki Gunung Sebuah Tantangan Petualangan. Buku yang terbit pada 1987 itu banyak mengilhami pencinta alam muda.

Norman tidak setengah hati dalam menulis dan menekuni kegiatan alam bebas. Dia gemar membaca, dia juga seorang kolektor buku. Ada dua rak buku berukuran besar di dalam kamarnya. Di antara buku-bukunya itu, banyak buku terbitan asing.

Bahkan  jika ada kawan-kawannya yang lebih menguasai bahasa Belanda, Norman meminta kawannya itu untuk menerjemahkan buku berbahasa Belanda yang dia beli. Norman seolah menyatakan menjadi pencinta alam sebaiknya memiliki perpustakaan pribadi, memiliki banyak buku.

Saat ini, ketika hampir di setiap perguruan tinggi memiliki mapala, bahkan di setiap fakultas pun juga memiliki mapala, mudah-mudahan mereka mampu meneruskan jejak langkah para “senior” mereka tersebut: bergerak dalam dunia buku, ilmu pengetahuan, dan mencintai negeri ini. Semoga saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun