Mapala UI sudah membuktikan bahwa pencinta alam haruslah bergerak dalam dunia buku. Mereka pernah menerbitkan buku berjudul Di Bawah Panji Kehormatan. Buku itu berisi artikel-artikel perjalanan Mapala UI yang pernah dimuat di Kompas, Majalah Mutiara, Majalah Gadis,Warta UI, dan Buletin Mapala UI.
Buku itu juga menjadi bukti bahwa pencinta alam juga harus berkontemplasi dalam dunia kata. Selalu menulis dan ada baiknya disampaikan ke media massa. Buku itu memang dimaksudkan untuk merangsang pencitna alam lain agar rajin menulis di media massa, agar masyarakat umum bisa mengikuti semua kegiatan yang mereka lakukan (Ganezh, 2005).
Jejak pencinta alam yang berkontemplasi dalam dunia buku juga bisa kita lihat dalam buku Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan. Buku ini berkisah tentang keberhasilan tim Indonesia (gabungan Kopassus, Wanadri, Mapala UI, dan Federasi Panjat Tebing Indonesia/FPTI) menjejaki puncak tertinggi di dunia, Mount Everest, pada 1997.
Keberhasilan ini membawa Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mampu mendaki puncak Everest. Buku itu begitu heroik dan membanggakan. Dalam dunia buku dan ilmu pengetahuan, kita mempunyai tokoh panutan bernama Norman Edwin.
Norman adalah pencinta alam sekaligus intelektual yang bisa dijadikan rujukan para pencinta alam. Bagi Norman, menjadi pencinta alam bukan hanya berpetualang di alam bebas, tetapi juga berpetualang dalam tulisan, dalam dunia kata.
Norman merasa berdosa jika saat atau setelah berpetualang, ia tidak menulis. Norman seolah mewajibkan dirinya untuk selalu menulis. Ambisinya ini ia pertegas dengan menerbitkan buku berjudul Mendaki Gunung Sebuah Tantangan Petualangan. Buku yang terbit pada 1987 itu banyak mengilhami pencinta alam muda.
Norman tidak setengah hati dalam menulis dan menekuni kegiatan alam bebas. Dia gemar membaca, dia juga seorang kolektor buku. Ada dua rak buku berukuran besar di dalam kamarnya. Di antara buku-bukunya itu, banyak buku terbitan asing.
Bahkan jika ada kawan-kawannya yang lebih menguasai bahasa Belanda, Norman meminta kawannya itu untuk menerjemahkan buku berbahasa Belanda yang dia beli. Norman seolah menyatakan menjadi pencinta alam sebaiknya memiliki perpustakaan pribadi, memiliki banyak buku.
Saat ini, ketika hampir di setiap perguruan tinggi memiliki mapala, bahkan di setiap fakultas pun juga memiliki mapala, mudah-mudahan mereka mampu meneruskan jejak langkah para “senior” mereka tersebut: bergerak dalam dunia buku, ilmu pengetahuan, dan mencintai negeri ini. Semoga saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H