Menyambung dari artikel sebelumnya. CIA sudah sejak lama mengamati Indonesia. Sejak digulingkannya Soeharto oleh rakyat dan Indonesia beralih ke era reformasi, maka Barat mulai mengantisipasi akan ancaman dari Indonesia. Maksudnya Barat mulai khawatir akan adanya sosok pemimpin Indonesia yang berkoar-koar menyatakan paham anti-Amerika dan anti-imperialisme yang pernah dideklarasikan Soekarno. Atas ketakutan itulah wajar bagi Barat untuk selalu mengawasi Indonesia.
Sosok pemimpin seperti itu, bagi Barat, adalah ancaman karena dapat memobilisasi massa dalam jumlah besar dan merupakan ancaman bagi kerjasama migas AS di Indonesia. Sosok pemimpin anti-Barat juga biasanya melakukan gerakan nasionalisasi industri-industri strategis seperti pertambangan, migas, dan industri lainnya. Nasionalisasi dibuat agar industri-industri strategis dalam negeri tidak diambil alih oleh asing, terutama dalam bentuk kepemilikan saham. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga keutuhan kedaulatan negara.
Sebelum berbicara mengenai agenda terselubung CIA kepada Presiden Jokowi, terlebih dulu kita berbicara mengenai kasus penyadapan yang pernah menimpa Presiden SBY. CIA memiliki kekhawatiran bahwa sosok presiden yang berasal dari kalangan militer bisa lebih berbahaya karena bisa jadi di publik terkesan kalem dan sopan, tapi didalam hatinya bergejolak ingin menumpas segala hal yang berbau kebarat-baratan. Nah, karena itulah CIA mulai memata-mata SBY. Mereka ingin tahu sebenarnya SBY ini sosok presiden seperti apa.
 CIA pun bekerjasama dengan badan intelijen Australia ASD (Australian Signals Directorate) dan NSA (National Security Agency) untuk melakukan penyadapan terhadap SBY. Mereka penasaran, sebenarnya apa yang SBY dan para menteri-nya bicarakan dibalik layar? Apakah yang mereka bicarakan mengancam Amerika Serikat?Â
Setidaknya dari catatan yang dipublikasikan ke publik, ada 10 sosok pejabat negara yang disadap oleh intelijen Australia yang didukung AS. Ada Boediono, Yusuf Kalla, Hatta Rajasa, Sri Mulyani, Sofyan Djalil, dan masih banyak yang lainnya. Dokumen rahasia penyadapan ini diungkapkan oleh mantan pegawai NSA Edward Snowden yang melarikan diri mencari perlindungan suaka ke negara-negara lain karena diburu oleh banyak pihak, terutama dari kalangan intelijen.Â
Hasil dari penyadapan tersebut, ternyata SBY tidak berbahaya. ASD, NSA, dan CIA lalu menyimpulkan bahwa SBY bukanlah sosok anti-Amerika seperti yang dikhawatirkan mereka. Walaupun SBY berasal dari institusi militer, namun fokus SBY adalah lebih kepada diplomasi internasional dan relasi antar negara-negara. Beliau lebih sering berbicara di forum-forum internasional dan sering diundang menjadi pembicara dalam seminar internasional bertajuk perdamaian dunia. Tidak ada sama sekali pembicaraan SBY yang terkait kepada sentimen negatif anti-Amerika. Untuk itu, Barat pun bisa merasa lega, setidaknya untuk sementara.
Taktik CIA sekarang mulai berubah dari penyadapan, beralih ke taktik Perang Asimetris. Taktik tersebut kini dipakai CIA dalam pendekatan mereka terhadap Indonesia. Taktik mereka berubah seiring pergantian Presiden di Indonesia. Perang Asimetris saat ini dipakai Barat (AS, CIA, dan lembaga-lembaga internasional) dalam melemahkan Indonesia, bukan dengan cara-cara militer.Â
Dan ini terbukti ampuh untuk memporak-porandakan banyak negara di Timur Tengah. Bisa dengan perjanjian internasional, kerjasama terorisme, pendanaan asing ke Indonesia, kerjasama hutang dan pinjaman Bank Dunia, UU yang pro-asing yang melemahkan kedaulatan NKRI, menggerakkan massa untuk turun ke jalan menentang pemerintahan atau bahkan berencana menggulingkan Jokowi (seperti kasus makar yang pernah terjadi dalam aksi demo kelompok Islam), atau bisa dengan cara pengrusakan mental generasi muda melalui Free Sex dan narkoba.Â
CIA memakai Perang Asimetris untuk melakukan tekanan terhadap rezim pemerintahan Jokowi. Perang Asimetris yang dimaksud ini adalah memanfaatkan jaringan komunitas Islam di Indonesia, yang dipakai ke dalam arena politik, untuk memanaskan dan membuat gaduh suasana, lalu ujung-ujungnya membuat tekanan kepada Presiden Jokowi.Â
Bisa juga sasaran mereka diarahkan kepada Kepolisian dan KPK. Perlu diketahui bahwa, dari perspektif global, pelemahan KPK juga masuk dalam agenda Perang Asimetris. Komunitas Islam Radikal juga memakai media sosial dan internet untuk menebarkan provokasi dan kebencian terhadap KPK serta mendukung blak-blakan DPR. Perang untuk merusak pemerintahan dari dalam. Jika sudah rusak pemerintahan, koruptor pun bisa lebih bebas lagi korupsi. Â
Definisi Perang Asimetris itu sendiri sayangnya berbeda-beda. Menurut versi Global Future Institute, Ada dua model peperangan asimetris. Pertama, memanfaatkan gerakan massa di jalanan dalam rangka menekan pemerintahan. Kedua, melalui permainan meja elite politik agar setiap kebijakan atau UU yang dibuat oleh pembuat UU terkesan mendukung asing. Kedua hal itu cukup efektif melemahkan Indonesia dari dalam tanpa melalui cara-cara militer. Perang Asimetris model pertama, yakni CIA memanfaatkan kelompok Islam Radikal di Indonesia untuk selalu menekan, menebar kebencian dan fitnah, kepada Presiden Jokowi.Â
Sedangkan penerapan model kedua adalah UU di Indonesia saling tumpang-tindih, tidak jelas, terkesan ngawur, dan ada beberapa UU terutama UU kelautan/maritim dan UU migas yang faktanya lebih condong berpihak ke asing. Rusaknya mental pejabat dan generasi muda Indonesia juga sebenarnya merupakan bagian dari taktik asimetris Barat.Â
Selama ini Jokowi tidak ingin terlibat terlalu dalam atau berkomentar mengenai hal ini. Beliau memang sangat hati-hati dan tidak sembarangan dalam memberikan pernyataan atau komentar. Jika tidak hati-hati. Maka suatu saat dua model peperangan asimetris ini akan "melukai" Indonesia dari dalam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H