Jangan remehkan lawan! Indonesia jangan pernah sekali-kali meremehkan determinasi atau kemampuan lawan, yang tentunya akan fatal akibatnya. Lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari genggaman, lepasnya Timor Timur (saat ini Timor Leste), serta masalah-masalah sengketa perbatasan lainnya yang suatu saat dapat memunculkan eskalasi baru. Terkait kasus Sipadan dan Ligitan, mungkin banyak media selalu memberitakan yang buruk-buruk tentang Malaysia, dan diperparah oleh percakapan kebencian yang sering dilontarkan para remaja atau orang awam yang sama sekali tidak mengetahui proses dibalik kemenangan Malaysia mendapatkan dua pulau tersebut.
Dan yang tak kalah penting, masalah OPM (Organisasi Papua Merdeka). Terakhir di Bali ada insiden terkait dengan pengibaran bendera West Papua (Bendera Papua Barat- Bintang Kejora), yang sebenarnya digunakan OPM untuk menarik simpatisan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Ingat, bahwa Indonesia masih lemah dalam sengketa perbatasan dan sengketa maritim, serta kendala geografis lainnya, untuk itu nilai detterent Indonesia masih dipandang lemah di kancah ASEAN atau Asia Tenggara. Indonesia kalah dalam sengketa pulau Sipadan-Ligitan karena gegabah membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional.
Indonesia gagal mendapatkan Timor Timur karena juga gegabah mengajukan referendum (yang sangat beresiko membuat Timtim lepas dari NKRI). Indonesia juga gagal membuat kesejahteraan di wilayah perbatasan Kalimantan Utara yang berbatasan langsung oleh Malaysia. Pemerintah tidak bisa berkutik ketika banyak anak SD di perbatasan Kaltim-Malaysia lebih memilih sekolah di sekolah Malaysia daripada sekolah di Indonesia. Dan barang-barang pun lebih murah di Malaysia daripada di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan infrastruktur jalan yang selama puluhan tahun terbengkalai. Sungguh memalukan bagaimana negeri ini memperlakukan warganya di perbatasan.
Lalu, pertanyaannya, bagaimana cara meningkatkan nilai detterent Indonesia agar dipandang oleh negara lain sebagai negara yang tidak hanya kuat dalam militer, tetapi memiliki kedaulatan territorial dan perbatasan yang mendapat perhatian serius dari pemerintah. Jika Indonesia sungguh-sungguh ingin meningkatkan nilai tawarnya di kancah global, minimal di kancah ASEAN, maka tidak boleh lagi ada fasilitas atau SDM yang tidak diurusi secara serius oleh pemerintah. Kemiskinan mungkin susah untuk ditangani, tetapi minimal perbaikan jalan-jalan segera dilakukan, renovasi Sekolah Dasar yang ada di wilayah perbatasan dilakukan (dengan target Dirjen Pajak di tahun 2016 sekitar 2000 Triliun, masak merenovasi sekolah saja tidak becus?).
Maka dengan adanya perbaikan jalan (terutama di wilayah Kalimantan Utara, perbatasan dengan Timor Leste, kawasan pedalaman Papua, dan di wilayah pelosok baik di Sumatera maupun di Sulawesi, maka otomatis akan mengangkat roda perekonomian di daerah. Selain itu perbaikan jalan dan infrastrukturnya juga akan memudahkan dari segi transportasi yang akan berimbas pada peningkatan di sektor ekonomi daerah (ekonomi mikro). Tidak perlu berkoar-koar terus mengenai prioritas akan alutsista matra laut dan udara, tetapi masalah kesejahteraan di wilayah perbatasan dan perbaikan sarana infrastruktur itulah yang terlebih dahulu dipikirkan.
Beban tidak hanya di pundak TNI saja sebagai kekuatan pengamanan terluar, tetapi harus terlibat didalamnya Menteri Sosial, Menteri Budaya, Menteri Pendidikan, dan elemen-elemen lain di dalam pemerintahan. Kementerian Sosial misalnya, mengurusi masalah kesejahteraan masyarakat perbatasan, Kementerian Budaya misalnya, berfungsi memberikan pemahaman dan wawasan budaya untuk masyarakat perbatasan, bisa juga memberikan hiburan di daerah perbatasan dengan cara penggelaran acara berbau seni dan budaya (agar mendekatkan anak-anak soal wawasan budaya yang selama ini jarang mereka ketahui), dan Kementerian Pendidikan,
membantu dalam melayani masyarakat dari aspek pendidikan termasuk pelayanan pendidikan di daerah. Semua itu nantinya ditangani oleh Kementerian Keuangan dari aspek finansial dan dijalani dengan benar oleh pemerintah. Jika itu dilaksanakan dengan baik, maka perlahan-lahan Indonesia akan kembali disegani negara lain karena berdaulat dan mandiri di perbatasan.
Kembali ke masalah sengketa wilayah. Terkait masalah sengketa Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, Malaysia memang sengaja membawa kasus tersebut ke ranah internasional, karena memang Malaysia tahu bahwa mereka akan kalah jika kasus Sipadan-Ligitan di bahas dan diselesaikan di ASEAN. Malaysia menghindar dari penyelesaian Sipadan-Ligitan dari segi politik (ASEAN) dan memilih menyelesaikannya dari segi penyelesaian hukum (PBB/ICJ). ICJ sendiri adalah International Court of Justice (Mahkamah Internasional) yang menangani sengketa perebutan wilayah atau pulau. ICJ merupakan bagian dari PBB yang berkantor di luar AS, yakni di Den Haag, Belanda.
Orang awam pasti langsung menghujat Malaysia dan menganggap bahwa Malaysia maling pulau, padahal itu hanya pemikiran orang awam dan tidak berdasarkan pada kesimpulan yang logis. Ada aturan-aturan yang berlaku dalam ICJ terhadap kasus tersebut. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa Malaysia adalah maling dan Indonesia adalah pemukul-maling, atau Malaysia buruk dan Indonesia baik, tidak bisa. Itu hanyalah pemikiran skeptis, yang penuh dengan kebencian dan provokasi yang tidak baik yang sebenarnya banyak dianut oleh masyarakat sok tahu (yang sebenarnya masih awam dalam hal seperti ini). Pulau Sipadan-Ligitan kasusnya jauh hari dari zaman pak Harto. Pernah dipersoalkan kedua negara di tahun 1989. Walaupun diskusi sempat vakum, namun di tahun 2000-an masalah ini kembali lagi di permukaan.
Setelah kasus dimenangkan oleh Malaysia di Mahkamah Internasional PBB, Indonesia harus ‘legowo’ dan menerima dengan lapang dada keputusan tersebut. Kita tidak bisa secara sepihak menuduh “Malaysia mencuri pulau kita” dan sebagainya. Mengapa? Karena jika masalah sengketa ini sudah dibawa kasusnya ke ICJ, maka Indonesia sebagai negara yang terlibat harus setuju terhadap “Apapun hasil keputusannya dan tidak dapat menolak”, itupun berlaku bagi Malaysia jika seandainya kasus Sipadan-Ligatan dimenangkan Indonesia. Oleh karena kesadaran itulah, Indonesia tidak boleh serta-merta menuduh yang aneh-aneh terhadap Malaysia karena kedua negara sudah setuju kasus tersebut dibawa ke ranah Internasional. Nah, pertanyaannya, mengapa bisa sampai dimenangkan Malaysia?
Walau Indonesia menunjukkan bukti bahwa kapal induk Belanda pernah berpatroli di dua wilayah itu, namun itu tidak dapat dijadikan justifikasi yang “kuat” di mata Mahkamah Internasional. Bukan berarti jika kapal induk Belanda pernah berpatroli atau bahkan berkunjung ke Sipadan-Ligitan, bukan menjadi bukti kuat. Kecuali jika ada kesepatakan tertulis antara belanda dan Indonesia terkait kedua pulau, mungkin bisa dijadikan bukti yang kuat untuk kasus yang dibawa ke ICJ. Sedangkan Malaysia membeberkan bukti yang lebih valid dan kuat dengan perjanjian antara Sultan Sulu dengan pihak Inggris terhadap Sipadan-Ligitan. Otomatis setelah Malaysia lepas dari cengkraman Inggris, kedua pulau yang pernah disekapati oleh Inggris itu jatuh ke tangan Malaysia. Sedangkan Indonesia tidak memiliki kesepakatan apapun dan dengan siapapun.