Mohon tunggu...
Abdu Rozaqi
Abdu Rozaqi Mohon Tunggu... - -

Stay Foolish, Stay Hungry

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papua, Memahami Kompleksitas Sosial Budaya

16 September 2015   05:42 Diperbarui: 16 September 2015   07:04 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan cerminan dari budaya dan sosial yang ada dalam masyarakat Papua. Papua merupakan tanah yang kaya akan emas, tembaga, dan hasil-hasil mineral lain yang terkandung didalamnya. Di bumi Cenderawasih ini juga terhampar hutan-hutan di tengah pedalaman yang masih hijau dan kebanyakan belum terjamah orang tangan-tangan manusia, kecuali warga pedalaman atau warga suku yang tinggal di sekitar pedalaman Papua. 
Sebenarnya ada banyak sekali norma-norma adat yang ada di papua, termasuk bahasa dan adat warga setempat, serta suku-suku pedalaman. Mereka semua adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari budaya papua. 

Sejak warga non-papua (warga Indonesia) berbondong-bondong masuk ke Papua dan menjadikan Papua sebagai domisili dan tempat para pendatang mencari nafkah sejak Indonesia menjadikan Papua masuk menjadi bagian dari NKRI, banyak sekali pertentangan yang terjadi antara modernisme yang dibawa warga pendatang yang berbenturan dengan norma-norma adat setempat yang telah diwariskan turun-temurun oleh warga pribumi papua. Kota-kota di Papua "dimodernisasikan" oleh warga pendatang, bangunan-bangunan tinggi didirikan, pembangunan ditingkatkan, datangnya transmigran yang akhirnya berdomisili di kota-kota seperti Jayapura, Sorong, Marauke, Manokwari, Timika, dan di kota-kota lainnya kadang membuat warga pribumi menjadi terpinggirkan. 

Selain itu, adanya pembangunan di kota-kota besar di Papua juga membuat pribumi papua merasa bahwa para pendatang membuat warga papua sendiri tidak dihargai. Pendidikan-pendidikan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sejatinya memiliki niatan baik serta dengan adanya pendidikan, maka Indonesia ingin menjadikan generasi di papua sebagai generasi yang tidak buta huruf dan dengan pendidikan juga, diharapkan dapat menyejahterakan mereka. Dengan kemajuan arus teknologi dan informasi yang cepat, papua dipaksa masuk ke dalam arus pembangunan dan pola hidup masyarakat Indonesia yang "mobile" yang tentunya berawal dari pendidikan, dimana melalui pendidikan lah seseorang akan menjadi "orang", dimana melalui pendidikan lah maka seseorang nantinya akan mendapatkan pekerjaan. 

Pendidikan memang penting, tapi banyak dari warga pribumi yang tidak dapat mencicipi pendidikan, beruntung bagi mereka yang dapat mencicipi pendidikan dan melanjutkan kuliah ke pulau jawa yang memiliki perguruan tinggi terbaik, namun itupun jika Pemerintah Daerah Papua memberikan mereka beasiswa. Faktanya, terkadang Pemda terkesan "setengah hati" untuk memberikan warga pribumi Papua beasiswa kuliah agar mereka dapat menyelesaikan kuliah mereka di jawa. Padahal, bagi mahasiswa papua, dukungan baik dana dan dukungan moril Pemerintah daerah sangatlah penting bagi mereka, agar dengan itu mahasiswa papua tidak harus merasa tersaingi dan mereka juga bisa mengeyam pendidikan seperti apa yang dicapai oleh anak-anak Indonesia. 

Selain itu, adanya benturan budaya yang dibawa warga pendatang juga sebenarnya menjadi isu yang banyak ditutupi baik oleh media dan pemerintah Indonesia sendiri. Benturan budaya ini terjadi karena tidak adanya keselarasan budaya, dan yang terpenting, tidak adanya toleransi karena satu budaya tidak bisa menerima budaya lain. 

Tulisan ini tidak untuk menyalahkan siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi untuk menjelaskan secara aktual bagaimana sebenarnya kompleksitas budaya sosial yang ada di papua dan benturan budaya di Papua antara pendatang dan kaum pribumi. 

Misalnya saja tanah adat, Indonesia memang negara hukum, sebuah negara yang mengedepankan hukum untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sedangkan di papua, warga pribumi lebih mengedepankan solusi adat dan sangat mengedepankan penyelesaian melalui norma-norma adat yang berlaku. Misalnya masalah tanah, bagi warga Indonesia, tanah akan dimiliki jika memiliki sertifikat tanah secara sah, namun bagi warga Papua, tanah itu tetap merupakan tanah mereka karena itu adalah tanah adat, tanah yang turun-temurun diberikan oleh nenek moyang mereka. Norma adat dianggap penting bagi pribumi sedangkan Indonesia tidak lagi memakai pendekatan budaya, melainkan pendekatan secara hukum, menyelesaikan masalah yang menurut warga pribumi sebagai masalah adat dimana warga Indonesia menganggap bahwa indonesia terkait dengan hukum dan segala masalah harus dibawa ke ranah hukum. 

Lain lagi jika masalah kriminalitas. saya setuju jika seorang kriminal dimasukkan ke penjara dan secara otomatis ia akan menjalani hukuman karena melakukan tindakan kejahatan. Itu berarti pendekatan hukum sudah tepat meskipun hal itu dilakukan di tanah papua, itu berarti entah dimanapun berada hukum harus ditegakkan, tentunya tanpa melanggar norma-norma adat yang berlaku. Jika ada warga yang tidak setuju terhadap seseorang yang ditangkap lalu warga beramai-ramai menyerbu kantor polisi, itu berarti warga yang tidak mengerti hukum. 

Hukum bisa ditegakkan selama hukum itu tidak menyalahi aturan adat dan tidak mengabaikan norma adat yang berlaku di papua. Warga setempat juga harus mengubah pola pikir mereka, mau terbuka dengan aturan hukum yang berlaku (bahwa seorang kriminal harus dipenjarakan), namun dengan tidak melupakan norma adat istiadat yang ia pegang sejak lahir.

Pendekatan represif yang sering dilakukan Indonesia terkadang, menurut saya, merupakan langkah yang tidak tepat. Sebelum itu, harus ada pendekatan preventif, jika mungkin, pendekatan budaya, itu yang terpenting. Pendekatan budaya juga harus dilakukan pemerintah Indonesia dalam rangka memahami dengan baik seperti apa budaya yang ada dalam masyarakat Papua. Dengan memahami budaya, kita lebih mengerti budaya lain dan membuat rasa toleransi terhadap beragam budaya itu meningkat. Dengan itu tidak ada lagi benturan budaya yang terjadi di Papua antara masyarakat pribumi papua dan warga pendatang. Dengan adanya pemahaman antar budaya, menurut saya, tidak ada lagi kesalahpahaman atau saling curiga-mencurigai antara warga satu dan warga lainnya, antara warga suku papua dan suku pendatang lainnya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun