Mohon tunggu...
Abduraafi Andrian
Abduraafi Andrian Mohon Tunggu... Administrasi - karena 140 karakter saja tidak cukup

suka baca apa saja, suka tulis suka-suka.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Menjadi Insignifikan

17 September 2019   21:33 Diperbarui: 19 September 2019   18:08 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, pertemuan rutin mingguan di kantor digelar dengan bahasan capaian kuartal ketiga dan rencana kuartal terakhir tahun 2019. Atasan menyebutkan detail apa saja yang menjadi indikator capaian dan siapa saja rekan-rekan yang berkontribusi di sana. Saya bukan yang termasuk disebut saat itu dan, anehnya, hati saya langsung menciut.

Saya tidak bilang bahwa saya berkontribusi besar dan harus disebutkan oleh atasan. Hanya saja, sepintas, saya merasa tersingkir karena seorang rekan kerja lain disebut oleh atasan padahal saya pikir dia punya porsi kerjaan yang sama dengan yang saya kerjakan.

Sekitar dua pekan lalu, saya diundang sebagai pembicara di sebuah acara literasi. Jauh sebelum hari pelaksanaan, saya sudah mempersiapkan kemeja, celana, bahkan kaus kaki untuk acara tersebut.

Saya pun meluangkan waktu untuk mencatat poin apa saja yang akan saya sampaikan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan acara. Saya berharap saya diberikan waktu yang cukup untuk menyampaikan itu semua.

Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Beberapa menit sebelum dimulai, saya di-brief seputar detail apa saja yang akan dibahas saat acara. Pada saat itu, saya tahu bahwa sayalah satu-satunya yang tidak mengumpulkan materi presentasi ke panitia untuk disetel dan dibagikan kepada hadirin. Rasa waswas muncul karena saya terkesan tidak mempersiapkan diri.

Saat sesi acara berlangsung, kekhawatiran saya diamini ketika saya hanya ditanya secara singkat dan diminta untuk merespons hasil presentasi narasumber lain. Poin-poin yang saya tulis di aplikasi pencatat di gawai tidak saya buka sama sekali. Saya tidak menonjol selama acara berlangsung. Saya merasa tidak penting dan, sepertinya, bila tidak ada saya di atas panggung, acara akan jalan dengan lancar-lancar saja.
***
Judul di atas terkesan angkuh, tapi mungkin sedari kecil saya selalu diperlakukan secara dominan. Sebagai anak pertama, saya kerap mendapatkan apa-apa yang penting dan "mahal". 

Saya diberikan asupan suplemen dengan kandungan minyak ikan kod yang konon dapat membantu perkembangan otak anak. Saya sempat masuk sekolah bonafit dengan iuran bulanan yang di atas rata-rata pada saat itu. Sebagai cucu pertama, saya kerap mendapat uang THR lebih dulu dan lebih banyak dari cucu-cucu Mbah yang lain.

Sampai beberapa bulan lalu sepulang studi di Amerika Serikat, saya bak artis yang kerap ditanyai kabar dan penghidupan di sana. Pertanyaan-pertanyaan tentang Amerika Serikat bagai kilatan blitz kamera yang menyilaukan tapi melenakan. Diundang di acara literasi tersebut juga sempat membuat saya di atas angin karena baru kali itu saya berdiskusi dalam sebuah sesi acara dan menjadi narasumber.

Dua kejadian yang saya ceritakan di atas menjadi satu batu sandungan penting. Saya bersyukur saya dihinggapi rasa tidak penting karena begitulah saya seharusnya menjadi.

Saya kemudian diingatkan pada peribahasa tentang padi yang semakin berisi semakin menunduk. Semakin saya punya pengalaman seharusnya saya tidak semakin jemawa dan merasa menonjol.

Susah memang. Bagi yang sejak kecil "dipentingkan", menyingkir ke sisi podium dan melihat dari jauh pertunjukan di atas sana itu terasa seperti kemunduran. Namun, toh apa yang salah dengan mundur? Aktor teater saja butuh jeda beberapa menit untuk pentas satu jamnya. Pemain sepak bola pun butuh 15 menit istirahat untuk permainan selama dua kali 45 menit. Apalagi saya yang bukan siapa-siapa.

Saya harus terus mengingatkan diri sendiri bahwa menjadi tidak menonjol itu tidak apa-apa; menjadi insignifikan itu bukan masalah. Masalah muncul ketika saya mati rasa dengan "merasa penting" tanpa pernah tahu bahwa hal itu akan membesarkan kepala saya terus-menerus yang puncaknya akan pecah dan cecerannya berserakan ke mana-mana.

Ada dua langkah yang harus saya lakukan. Pertama, saya berdamai dengan ego saya. Kedua, saya lalu menaruh kata-kata "biasa saja", "medioker", dan "rata-rata" ke dalam kamus sifat saya dan mulai mengembannya. Dua langkah yang mudah dituliskan tapi sukar diimplementasikan. Namanya juga belajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun