Saya sudah memiliki jadwal temu bersama dua orang teman saya pada hari Minggu kemarin. Sebuah pertemuan yang kami tunggu-tunggu karena ada beberapa hal yang perlu kami obrolkan. Kami pun sudah merancang waktu dan tempatnya sejak beberapa waktu yang lalu.
Saat bangun pagi harinya, saya dikejutkan oleh berita terjadinya ledakan bom di tiga gereja di Surabaya. Saya merinding mendengar kabar itu, apalagi mengetahui fakta bahwa pelaku adalah satu keluarga. Walaupun tinggal di Jakarta, saya merasa cemas. Sempat berpikir untuk menunda pertemuan kami.
Namun, saya mengurungkan rasa takut yang tiba-tiba hadir dalam diri saya. Saya tetap bertemu mereka dan kami menghabiskan siang sampai malam kemarin dengan aman walau masih bersama obrolan-obrolan kecil seputar kejadian pagi itu.
Hal yang tak saya duga-duga terjadi saat kami berpencar untuk pulang ke kediaman masing-masing. Saya berada di Stasiun Juanda dan menyempatkan Salat Isya terlebih dahulu sebelum kembali ke indekos. Saya ingin setibanya di kamar, saya tinggal istirahat dan bersiap untuk hari Senin.
Saya melepas sepatu di depan musala dan memakai sandal jepit untuk mengambil air wudu. Seorang pria baru saja berwudu dan melangkah ke arah musala. Sesudah wudu, saya kembali ke musala dan melihat pria tersebut sudah memulai salatnya. Sewajarnya, saya menepuk pundak kanannya dan menjadi makmumnya.
Saya ingat saat itu menjelang pukul delapan malam. Jam tangan saya diatur enam menit lebih cepat dan selalu berbunyi kala berpindah waktu jam. Rakaat pertama dan kedua terasa begitu khusyuk. Sampai saya dikagetkan dengan jam tangan saya yang berbunyi. Biasanya, saya tidak terpengaruh sama sekali dengan penanda itu. Sampai akhirnya rasa takut dalam diri saya hadir seketika itu juga.
Seperti menggerogoti, pada rakaat ketiga yang terasa begitu lama, saya jadi merasa begitu kalut. Pikiran saya tiba-tiba kacau. Saya berpikir macam-macam. Tas ransel sang imam yang tergeletak di sebelah tas saya di depan kami menjadi momok. Apakah tas itu berisi sesuatu? Apakah tas itu akan meledak tepat pukul delapan? Apakah sang imam yang berlama-lama pada rakaat ketiga dan keempat ada maksudnya? Apakah saya akan mati di tempat publik itu?
Sampai akhirnya gerakan salam kedua kami sudahi. Saya masih begitu gelisah. Rasa takut sudah menguasai saya. Saya bersalaman dengan sang imam, sedikit berkomat-kamit, lalu mengacir keluar dan memakai sepatu. Saya berjalan lekas menjauh dari tempat itu. Saya naik ke lantai peron menggunakan eskalator dan untungnya kereta sudah tersedia. Saya gegas naik lalu duduk. Lalu, saya menangis.
Saya selamat! Saya masih hidup! Saya bersyukur! Namun, saya terus menangis dalam hati. Ketakutan saya membuat saya berpikir irasional. Saya yang seharusnya merasa tenang kala salat malah berpikir yang tidak-tidak. Saya bahkan suuzan kepada imam salat saya. Saya berpikir tentang kejadian itu. Saya berpikir tentang para korban. Saya berpikir kalau-kalau saya juga akan "pulang" pada hari yang sama. Saya merasa takut. Amat takut.
Saya tahu saya seharusnya tidak berpikir yang tidak-tidak, apalagi ketika saya sedang berada begitu dekat dengan Tuhan saat salat. Juga, poin paling penting, mungkinkah hal itu terjadi di sebuah musala? Namun, saya tidak bisa mengontrolnya. Saya tidak bisa menekan rasa takut saya. Rasa takut itu benar-benar nyata dan membuat akal saya berpikir di luar nalar serta mengantisipasi hal-hal yang bisa terjadi. Sayangnya, kita harus mengakui bahwa segala hal - apa pun itu - bisa terjadi.
Saya ingin urun bersama yang lainnya dalam gerakan #KamiTidakTakut, tapi rasa takut tidak bisa dihalau hanya dengan sebuah tagar. Harus ada faktor lain yang lebih meyakinkan. Satu hal yang saya dapat dari perjalanan semalam: ketakutan dapat hadir tiba-tiba, tapi seharusnya akal sehat tetap dijaga. Bagaimanapun caranya.