Apa gambaran masa depan menurutmu? Bagi dunia yang dibangun John Krasinski dalam film terbarunya berjudul "A Quiet Place", masa depan dipenuhi makhluk asing yang buta tapi peka suara, haus darah, dan mematikan. Dengan penggambaran dunia seperti itu, manusia yang masih hidup terpaksa harus selalu tenang dan tidak berisik dalam berkeseharian.Â
Sekali saja botol minummu jatuh tak sengaja, nyawamu benar-benar terancam. "A Quiet Place" memaksa para penontonnya berpikir: Mungkinkah hidup dalam keterbatasan seperti itu? Dapatkah seseorang melakukan segala aktivitas tanpa mengeluarkan bunyi apa pun?
Keberadaan monster yang terus membayangi juga menjadi masalah sendiri. Itu seperti seseorang yang takut kecoak diharuskan hidup di sebuah ruangan yang berisi beberapa ekor kecoak. Bisa dibayangkan betapa waswasnya ia? Betapa ia harus terus terjaga dan amat berhati-hati agar kecoak tidak mendekat padanya lebih-lebih terbang ke arahnya. Ketegangan, kehati-hatian, dan keheningan adalah bentuk masa depan yang ditawarkan oleh "A Quiet Place".
(Dua paragraf di atas dikutip dari sini.)
Sabtu lalu, saya diajak seorang teman untuk menghadiri pesta pernikahan temannya. Sebut saja dia Ayud. Karena tak ada kegiatan, saya mengiakan ajakannya. Awalnya, kami sepakat untuk bertemu di Stasiun Tanah Abang, mengingat tujuan kami berada di sekitar Stasiun Parung Panjang yang berarti hanya satu kali naik kereta rel listrik (krl) dari Stasiun Tanah Abang.
Siang itu terik. Saya tiba duluan di Stasiun Tanah Abang. Saya tidak ingat bahwa Sabtu itu hari libur. Peron-peron penunggu krl sudah disesaki orang-orang bersama sanak mereka. Ada yang berdiri. Ada yang duduk lesehan. Sesaknya peron masih dijejali kantong-kantong keresek hasil belanjaan mereka yang sudah pasti mereka bawa dari Pasar Tanah Abang. Begitu penuh. Begitu riuh.
"Aku tungguh di Stasiun Sudirman deh. Di sini penuh banget." Saya kirimkan pesan itu kepada Ayud. Walaupun sudah di dalam gerbong krl, posisinya masih di Stasiun Universitas Pancasila, yang mana kalau dihitung-hitung masih sekitar 45 menit lagi untuk kami berjumpa. Seturunnya di Stasiun Sudirman, saya menyempatkan ibadah dan makan oden yang dibeli di minimarket. Sampai tibalah waktu kami bertemu.
Beberapa jam berlalu. Sepulang kondangan, kami memutuskan untuk mampir sebentar di sebuah tempat makan kekinian. Hari sudah malam. Dan celakanya, kami baru ingat kalau itu malam Minggu. Tiada tempat makan dan tempat publik lain yang tak ramai. Benar saja, kami harus menunggu beberapa lama untuk mendapatkan meja di tempat makan itu. Sayangnya, kami bersebelahan dengan serombongan remaja yang begitu gaduh.
"Kalau saat ini kita berada di dunia 'A Quite Place', mereka semua sudah mati ditikam monster-monster itu," celetuk Ayud. Saya hanya tertawa ringan. Ia belum menonton film itu tapi saya sudah membeberkan plot ceritanya.
Dalam lubuk hati paling dalam, saya ingin hal itu benar-benar terjadi. Saya benci kegaduhan tanpa bentuk---di ranah publik sekalipun. Apa esensi berbicara lantang-lantang terhadap satu sama lain? Bisa jadi mereka begitu menikmati momen kebersamaan mereka. Sial saja, saya dan Ayud harus berdekatan meja dengan mereka.
Mungkin malam itu saya keliru. Tidak seharusnya saya mengajak Ayud ke tempat makan kekinian itu. Saya bisa membawanya ke tempat lain yang lebih redam. Mestinya saya mengajaknya tonton "A Quite Place" di bioskop.