Buya Syafii Maarif mengungkapkan bahwa potensi untuk merebut kedudukan takwa sangat terbuka lebar bagi seluruh orang beriman tanpa terkait dengan latar belakang keturunan, kultur, sejarah, ekonomi, dan lain-lain. Kedudukan seseorang itu ditentukan oleh kualitas hidupnya, kualitas iman dan amalnya, bukan yang lain.
Dengan demikian, menurut Buya Syafii Maarif, ide moral Al-Hujurat ayat 13 ini membuka kesempatan bagi semua anak Adam untuk ber-fastabiqul khairat (berlomba untuk melakukan kebaikan) di muka bumi ini. Ayat ini juga menegaskan bahwa semua manusia memiliki status yang sama, tanpa diskriminasi sedikit pun kepada manusia untuk merebut martabat dan keagungan nilai rohani sejauh yang mungkin dicapai dalam batas kemampuan manusia.
Menghapus Praktik Perbudakan Spiritual
Salah satu di antara risalah Islam adalah menghapus segala macam bentuk perbudakan. Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Nabi Muhammad SAW datang membawa pencerahan dan kabar gembira. Mencerahkan manusia dari segala macam bentuk kejahiliahan. Membebaskan manusia dari segala macam bentuk perbudakan. Mengangkat harkat martabat manusia dan mengembalikan manusia kepada fitrah penciptaannya, atau dalam istilah lain memanusiakan manusia.
Praktik-praktik semacam perbudakan, penindasan, kezaliman, dan sejenisnya itu sesungguhnya tidak bersesuaian dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan spirit ajaran Islam yang mengusung semangat pencerahan dan berkemajuan.
Oleh sebab itu, akal pikiran jangan dibiarkan tunduk oleh dogma-dogma menyesatkan yang tidak sejalan dengan petunjuk Al-Qur’an. Meminjam ungkapan Buya Syafii Maarif: “Al-Qur’an harus menjadi rujukan terakhir dan tertinggi dalam merumuskan sikap hidup beragama”.
Lalu bagaimana timbangan Al-Qur’an terkait dengan fenomena, yang oleh Buya Syafii Maarif, dikatakan sebagai bentuk perbudakan spiritual ini?
Pengkultusan terhadap sosok tertentu, yang dianggap keramat dan suci, dalam Islam tidak dibenarkan. Mungkin inilah yang dimaksud oleh Buya Syafii Maarif sebagai bentuk perbudakan spiritual. Sebab, praktik perbudakan spiritual ini dikhawatirkan akan menjerumuskannya ke jurang kemusyrikan. Kita tahu bahwa perilaku musyrik, oleh Al-Qur’an, digolongkan ke dalam bentuk kezaliman yang besar (Lihat: QS. 31: 13).
Penghormatan yang dilakukan secara berlebih-lebihan terhadap sosok tertentu karena dianggap berasal dari keturunan orang suci, sebaiknya dihindari. Bukankah semua manusia layak dihormati dan dikasihi tanpa melihat faktor-faktor tertentu? Siapa pun ia, tidak dibenarkan berlaku zalim atas siapa pun jua. Siapa pun ia, tidak dibenarkan merendahkan siapa pun jua. Siapa pun ia, tidak dibenarkan menganggap hina kedudukan orang lain.
Dengan demikian, jika ditimbang dengan paradigma QS. Al-Hujurat (49) ayat 13, maka praktik perbudakan spiritual ini sungguh tidak sejalan dengan nilai-nilai Al-Qur’an yang mengusung semangat egaliter, kritis, progresif, dan mencerahkan, namun tetap dalam bingkai keteladanan akhlakul karimah.
Oleh sebab itu, perilaku mendewa-dewakan orang-orang tertentu yang dianggap keramat dan suci ini tidak perlu dikembangkan dalam konteks beragama. Dalam konteks berbangsa dan bernegara pun demikian, sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, maka ide moral QS. Al-Hujurat (49) ayat 13 sangat relevan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.