Buya Syafii Maarif dalam bukunya menulis:
"Mereka yang mendewakan keturunan raja, ulama, atau bahkan keturunan nabi termasuk dalam kategori perbudakan spiritual ini, menurut pemahamanku. Bagiku, gelar-gelar sayid, syarifah, wali, habib, dan 1.001 gelar lain yang mengaku keturunan nabi, atau keturunan raja, hulubalang, atau keturunan bajak laut dan perompak lanun yang kemudian ditakdirkan menjadi raja, sultan, amir, dan dianggap keramat dan suci oleh sebagian orang akan runtuh berkeping-keping berhadapan dengan penegasan ayat Al-Qur'an Surat Al-Ḥujurāt: 13." (Lihat: Ahmad Syafii Maarif, Memoar Seorang Anak Kampung, Yogyakarta: Ombak Dua, Edisi Revisi 2020, Hlm. 60-61)
Pernyataan Buya Syafii Maarif tersebut relevan dengan realitas yang sedang terjadi kini. Orang-orang yang tersemat dalam namanya gelar-gelar keramat sangat disanjung dan dimuliakan oleh sebagian orang di negeri ini, bahkan begitu didewa-dewakan. Inilah gambaran dari kultur masyarakat tradisionalis, yang menurut Haedar Nashir, secara sosiologis, kultus mitos itu masih kuat.
Maka tak heran banyak di antara mereka berebut hendak memeluk dan mencium berkali-kali tangan orang yang dianggap keramat itu saat bertemu meskipun dalam keadaan berdesak-desakan bahkan mengancam jiwa mereka, dengan dalih mengambil berkah darinya. Fenomena inilah yang tak luput dari sorotan Buya Syafii Maarif.
Penegasan QS. Al-Hujurat (49) Ayat 13
Kemuliaan manusia di sisi Allah tidak ditentukan oleh faktor keturunan ataupun faktor ekonomi, tetapi ditentukan oleh nilai ketakwaan. Sebagaimana Allah menegaskan:
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat/ 49: 13)
Imam Ibnu Katsir menegaskan, ayat di atas menunjukkan bahwa posisi manusia di sisi Allah tidaklah bergantung kepada faktor keturunan, melainkan ketakwaan. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian”, (HR. Muslim dan Ibnu Majah).
Dalam kesempatan lain juga Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah, sesungguhnya engkau tidaklah lebih baik dari (orang kulit) merah dan hitam, kecuali jika engkau melebihkan diri dengan ketakwaan kepada Allah”, (HR. Ahmad).
Diriwayatkan juga dari Abu Malik Al-Asy’ari, mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada kemegahan orangtuamu, tidak melihat keturunanmu, tidak melihat fisikmu, dan tidak melihat hartamu. Akan tetapi melihat hatimu (jiwamu). Barangsiapa yang mempunyai hati yang saleh, pastilah Allah mengasihinya. Kamu semua hanyalah anak Adam dan yang paling dikasihi oleh Allah di antara kamu adalah yang paling bertakwa kepada-Nya”, (HR. Ath-Thabrani).
Buya Hamka dalam tafsirnya juga menegaskan bahwa tidak ada kemuliaan sejati yang dianggap bernilai di sisi Allah melainkan kemuliaan hati, kemuliaan budi, kemuliaan perangai, dan ketaatan kepada-Nya. Mendewa-dewakan keturunan, harta, jabatan, dan sejenisnya hanya akan menjadikan manusia lupa kepada nilai-nilai ketakwaan.