Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Boleh jadi tidak banyak yang tahu kalau nama itu adalah nama lengkap seorang ulama karismatik yang populer disapa Buya Hamka. Ketika disebut Buya Hamka barulah banyak yang mengetahuinya. Tapi saya nggak tahu, apakah generasi milineal, gen z, dan gen alpha sudah banyak yang tahu sosok Buya Hamka ini?
Nah, saya kira penting sekali kita mengenalkan tokoh-tokoh besar yang telah berjasa untuk bangsa, negara, dan agama. Saya khawatir, jika tidak kita populerkan, generasi masa kini dan akan datang lebih tahu tentang sosok artis Korea, Holywood, ataupun Bolywood daripada tokoh bangsa maupun tokoh ulama kita.
Kali ini saya hendak mengenalkan sekilas sosok Buya Hamka. Terus terang, saya penggemar berat Buya Hamka. Banyak karya-karya Buya Hamka yang sudah saya koleksi, termasuk salah satu karya monumentalnya, yaitu Tafsir Al-Azhar. Bahkan, Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka ini saya jadikan objek kajian dalam penelitian skripsi dan tesis saya semasa studi S-1 dan S-2.
Insya Allah, kapan-kapan di artikel yang lain, saya akan mengupayakan untuk menulis khusus membahas Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka ini dan biografinya yang agak lengkap.
Pada artikel kali ini saya ingin sedikit bercerita tentang pengalaman Buya Hamka. Cerita ini saya dapatkan ketika membaca Tafsir Al-Azhar. Waktu itu, saya hendak melihat bagaimana Buya Hamka menafsirkan QS. Al-'Ankabut (29) ayat 45. Lalu saya pun membuka dan membaca Tafsir Al-Azhar.
Ayat tersebut berbunyi (saya tuliskan terjemahnya saja):
"Dan tegakkanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-'Ankabut/ 29: 45)
Ketika menafsirkan ayat di atas, Buya Hamka juga menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Amerika Serikat. Pada 1952, waktu itu Buya Hamka berusia 44 tahun, Buya Hamka diundang sebagai tamu kehormatan dalam suatu agenda di Amerika Serikat. Lebih kurang selama dua bulan lamanya Buya Hamka berada di negeri Paman Sam tersebut, tanpa ditemani anak dan istrinya.
Di sana Buya Hamka menginap di salah satu hotel yang berada di wilayah Denver. Sekali waktu, Buya Hamka hendak beristirahat di kamar hotelnya. Ketika akan beristirahat, Buya Hamka terlebih dahulu melaksanakan salat jamak dan qashar magrib dan isyak. Setelah selesai salat, Buya Hamka kemudian merapikan tempat tidurnya. Tiba-tiba dari luar terdengar suara orang mengetuk pintu kamar hotelnya.
Buya Hamka pun bergegas membuka pintu tersebut. Di lihatnya, ternyata seorang pelayan hotel. Buya Hamka pun menanyakan kepada pelayan hotel itu ada keperluan apa ia datang ke kamarnya. Pelayan hotel itu kemudian menyampaikan kepada Buya Hamka, barangkali tidurnya Buya Hamka malam itu mau ditemani seorang perempuan cantik dan muda.
Mendengar itu, Buya Hamka mengakui bahwa pada saat itu dorongan hasrat laki-laki memang sedang berguncang. Apalagi posisi beliau sendirian. Tidak ada seorang pun yang mengenalnya seandainya beliau menerima tawaran dari pelayan hotel tersebut. Nah, di sinilah kita melihat keteguhan iman Buya Hamka. Buya Hamka menyadari bahwa baru saja ia melaksanakan salat, bahkan bekas wudhu pun masih terlihat basah di wajahnya.
Dalam hati Buya Hamka bergumam:Â "Kalau tidur dengan perempuan lain meskipun istriku tidak mengetahuinya, bagaimana besok aku salat subuh? Bagaimana aku membaca dalam iftitah yang bunyinya 'sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semuanya untuk Allah Rabbul'alamin. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Demikianlah aku diperintahkan dan aku adalah salah seorang yang berserah diri'."
Begitulah Buya Hamka mengenang salatnya. Segera menyadarinya, Buya Hamka dengan tegas menolak tawaran dari pelayan hotel tersebut. Lalu menutup pintu kamarnya dan bergegas untuk beristirahat. Pagi harinya, ketika Buya Hamka melaksanakan salat subuh, beliau merasakan salatnya kali ini lebih khusyuk dan jauh lebih berkesan dari sebelumnya.
Sahabat! Begitulah cara Buya Hamka menghayati salatnya. Dari situ kita belajar bahwa kekhusyukan salat itu harus diupayakan tidak hanya pada saat sedang salat, tetapi juga saat di luar salat. Lihatlah, bagaimana Buya Hamka betul-betul menghayati salatnya sehingga saat di luar salat pun jiwa dan raganya tetap terbentengi dari melakukan perbuatan keji dan mungkar.
Maka, benarlah apa yang difirmankan Allah bahwa salat itu dapat mencegah diri kita dari melakukan perbuatan keji dan mungkar sebagaimana di dalam ayat di atas tadi (QS. Al-'Ankabut (29) ayat 45. Mungkin kita bertanya, kenapa ada orang yang salat tapi tetap bermaksiat? Kita pun menjadi tahu jawabannya. Bahwa bukan salatnya yang salah, tapi kitanya saja yang tidak menghayati salat kita dengan sebenar-benarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H