Mohon tunggu...
Abdur Rauf
Abdur Rauf Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIQ Kepulauan Riau

Aku berkarya, maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghitung Kebaikan Allah

11 Januari 2025   06:10 Diperbarui: 11 Januari 2025   06:04 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Alam (Sumber: Meta AI)

Allah itu baik sekali. Kebaikan Allah tak dapat kita hitung. Tak terhingga banyaknya. Al-Qur’an pun menyatakan: 

“Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. 14: 34)

Maha baiknya Allah, apa pun yang kita minta Dia berikan. Bahkan, saking baiknya, tidak kita minta pun Dia juga berikan. Hal yang demikian itu menunjukkan bahwa Allah sangat tahu apa yang kita butuhkan. Pengertian dan perhatian Allah sangat besar untuk hamba-hamba-Nya. Tapi, apakah semua manusia pandai mensyukuri akan kemahabaikan Allah itu?

Kita diciptakan-Nya sebagai manusia yang paling baik bentuk dan rupanya. Kita juga dianugerahkan kapasitas intelektual yang luar biasa. Kapasitas intelektual ini tidak ada pada makhluk lain. Kita dianugerahkan aneka macam indra dengan fungsinya masing-masing. 

Fasilitas kehidupan kita juga lengkap tersedia di alam raya ini. Dan berbagai macam kenikmatan lainnya yang terus mengalir kepada kita. Nikmat kehidupan, nikmat kesehatan, nikmat pendengaran, nikmat penglihatan, dan nikmat yang paling besar adalah nikmat iman dan Islam yang Allah anugerahkan kepada kita.

“Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah datangnya.” (QS. 16: 53)

“Maka, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?” (QS. 55: 13)

Mengekspresikan Syukur

Alhamdulillah. Itulah kalimat paling utama yang wajib kita ucapkan sebagai ekspresi syukur atas limpahan nikmat-nikmat tersebut. Tapi, syukur itu tak hanya berhenti sampai di lisan. Syukur itu juga wajib kita implementasikan melalui amal perbuatan.

Lihatlah, bagaimana keteladan Rasulullah SAW dalam hal syukur ini. Suatu waktu ‘Aisyah, istri Nabi, pernah bertanya kepada Nabi, mengapa Nabi shalat malam sampai bengkak kakinya? Bukankah Allah telah mengampuni dosa Nabi, baik yang dahulu maupun yang akan datang? Lalu apa jawab Nabi?

“Tidak bolehkan aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”.

Nah, sekarang bagaimana dengan kita? Kita ini bukan nabi, bukan rasul, dosa melimpah, surga belum jelas, tapi masih malas-malasan mengerjakan shalat. Jangankan shalat-shalat nafilah, shalat wajib pun masih sering lalai. Syukurkah itu namanya?

Di dalam Al-Qur’an banyak sekali dikisahkan bagaimana kesudahan orang-orang yang kufur nikmat itu. Mereka mendapatkan azab dari Allah. Misalnya, azab yang ditimpakan pada umat Nabi Musa, sebagaimana yang dikisahkan Al-Qur’an:

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: ‘Wahai Musa! Kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan saja, maka mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti sayur mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas, dan bawang merah’. Dia (Musa) menjawab: ‘Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Pergilah ke suatu kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta’. Kemudian mereka ditimpa kenistaan dan kemiskinan, dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas.” (QS. 2: 61) 

Itulah gambaran orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah. Padahal telah Allah sediakan bagi mereka kehidupan yang nyaman, makanan yang baik, menyenangkan, dan bermanfaat. Akan tetapi, anugerah nikmat yang ada itu tidak mereka syukuri. Itulah ciri dari kerendahan diri mereka: kufur nikmat. 

Bahkan, nabi-nabi yang diutus untuk menuntun mereka kepada jalan yang benar pun habis dibunuh. Benar-benar perbuatan yang biadab dan melampaui batas. Maka, wajar azab yang hina itu ditimpakan kepada mereka.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran (ibrah) atas peristiwa ini. Ingatlah peringatan Allah ini:

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. 14: 7)

Menghadirkan Sifat Qanaah

Orang yang tidak mensyukuri nikmat itu selalu merasa kurang. Tidak puas dengan apa yang telah dimiliki. Seperti kata kebanyakan orang, dikasih hati minta jantung.

Makanya, hidup itu jangan selalu mendongak ke atas, tapi sesekali tengoklah ke bawah. Kita merasa hidup kita sajalah yang paling susah, padahal kalau kita lihat ke bawah lebih banyak lagi orang yang susah dari kita. Toh, mereka tetap bersyukur. Hidup bersahaja, merasa cukup (qanaah) atas segala yang ada. 

Sikap hidup yang demikian itu benar-benar menenangkan batin kita, cobalah! Lihatlah kondisi mereka yang serba merasa kurang, hidupnya pasti gusar, gelisah, tidak tenang. Melihat orang lain memperoleh kesenangan, dia gusar. Iri dengan apa yang orang lain miliki. Akhirnya, nekad melakukan apa saja, bahkan dengan cara haram sekalipun, demi memperoleh apa yang orang lain dapatkan.

Milikilah sifat qanaah. Sifat qanaah menjadi kekayaan bagi jiwa kita. Orang yang memiliki sifat qanaah ini senantiasa merasa cukup atas anugerah Allah.

Buya Hamka menjelaskan bahwa orang yang ada sifat qanaah dalam jiwanya mengandung lima perkara, di antaranya:

Pertama, menerima dengan rela akan apa yang ada. Kedua, memohonkan kepada Allah yang pantas, lalu berusaha. Ketiga, menerima dengan sabar terhadap ketentuan Allah. Keempat, bertawakal kepada Allah. Kelima, tidak tertarik oleh tipu daya dunia.

Itulah yang disebut qanaah, dan itulah kekayaan yang sebenar-benarnya. Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan: 

“Bukanlah kekayaan itu lantaran banyaknya harta, tetapi kekayaan itu ialah kekayaan jiwa.”

Dalam hadis lain juga disebutlan:

“Qanaah itu adalah harta yang tak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap.”

Tentu ini tidak mudah, perlu latihan yang panjang untuk memiliki sifat qanaah. Paling tidak kita sudah tahu bagaimana caranya menggapai qanaah itu. Jika sekali waktu kita lalai, maka segeralah ingat dan beristighfar.

Jangan sampai sikap kita yang selalu merasa serba kurang itu terus berlarut menjadi kebiasaan. Jika perasaan serba kurang itu datang, maka segera pula lihat bahwa di luar sana masih jauh lebih banyak orang yang hidup serba kekurangan.

Ambillah sikap sebagai laiknya seorang Mukmin sejati. Nabi Muhammad SAW menyampaikan:

“Sungguh menakjubkan perihal seorang Mukmin. Semua urusannya baik-baik saja, dan hal ini tidak terjadi kecuali pada seorang Mukmin. Jika ia mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, maka ia bersyukur, maka hal ini terbaik baginya. Dan jika ia tertimpa sesuatu yang menyulitkan, maka ia bersabar, maka hal ini terbaik baginya.” (HR. Muslim)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun