Mohon tunggu...
Abdur Rauf
Abdur Rauf Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIQ Kepulauan Riau

Aku berkarya, maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kisah Sepotong Roti: Menjadi Manusia Bertauhid

5 Januari 2025   17:30 Diperbarui: 5 Januari 2025   17:22 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ayah dan Anak (Sumber: Meta AI)

Dari sepotong roti kita belajar menjadi Muslim bertauhid. Dimensi tauhid tidak melulu berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Tapi, justru bertauhid itu juga erat kaitannya dengan dimensi kemanusiaan. Mengaku bertauhid, tapi mengabaikan dimensi kemanusiaan adalah tanda ketidaksempurnaan iman dalam diri seorang Mukmin. 

Maka, manusia bertauhid adalah mereka yang secara vertikal sangat baik hubungannya dengan Allah, tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun. Sedangkan secara horizontal, manusia bertauhid itu adalah mereka yang senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama manusia dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu.

Seorang ustaz bercerita bagaimana ia mendidik anaknya dengan nilai-nilai tauhid itu. Suatu waktu, setelah selesai mengajar, ia pulang ke rumah. Setibanya di rumah, di depan halaman rumahnya itu ia dapati anaknya sedang makan roti. Tak ada soal dengan itu. Yang jadi soal, anaknya makan roti sementara temannya yang ada di hadapannya hanya melihat saja dengan memasang wajah pengin. Tapi, anak sang ustaz itu asyik makan sendiri tanpa ada rasa empati dan ingin berbagi.

Tentu saja, sang ustaz tidak membenarkan tindakan anaknya tersebut. Tapi, tidak langsung ditegur di situ. Khawatir anaknya akan tersinggung dan malu jika ditegur di depan temannya. Itulah di antara cara bijak dalam memberi nasihat.

Biasanya, kita juga tidak terima jika dinasihati di depan orang-orang. Apalagi dengan membeberkan deretan kesalahan-kesalahan yang telah kita buat. Sungguh, sangat tidak mengenakkan. Inilah kaidah Al-Qur’an yang harus kita ikuti dalam memberi nasihat, yaitu bil hikmah, dan mau’idzhatul hasanah, (QS. 16: 125). Karena menaati kaidah Al-Qur'an, maka sang ustaz punya cara bijak dalam memberi nasihat kepada anaknya.

Pada esok harinya, seperti biasa, setelah selesai mengajar di kampus tempat ia mengajar, sang ustaz mampir ke toko roti sebelum pulang ke rumahnya. Sang ustadz membeli roti sekantong plastik. Tentu banyak sekali isinya. Cukuplah untuk dimakan beberapa teman anaknya.

Setelah sampai di rumah, anaknya senang bukan main melihat kedatangan sang ayah. Saat sang ustaz tiba itu, anaknya sedang asyik bermain bersama teman-temannya di sekitar halaman sekolah, yang kebetulan jarak antara rumahnya dan halaman sekolah itu hanya sepelemparan batu.

Sang ustaz pun memanggil anaknya. Di samping hendak memberikan roti yang baru dibelinya itu, sang ustaz juga ingin menyoroti dan memberi nasihat atas sikap anaknya kemarin kepada temannya.

Sang ustaz memulai, “Nak, kemarin ayah lihat kamu makan roti, sementara temanmu ada di depanmu tidak kamu berikan walau hanya sepotong”.

Sang anak diam saja. Sang ustaz melanjutkan, “Sekarang ayah tanya kamu, bagaimana jika kamu di posisi temanmu? Pasti kamu juga ingin menikmati roti itu, bukan? Nah, begitu juga dengan temanmu itu”. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun