Sang ustaz melanjutkan lagi, “Nak, roti yang kamu makan itu adalah rezeki dari Allah melalui perantaraan ayah. Cara mensyukuri nikmat rezeki itu adalah dengan berbagi. Kalau kamu suka berbagi, Allah senang, nak. Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”.
“Iya, ayah, aku mengerti”, jawab sang anak dengan raut wajah penuh penyesalan.
“Bagus kalau kamu menyadari, nak. Lain kali jangan kamu ulangi lagi”, pungkas sang ustaz kepada anaknya.
Tak berapa lama kemudian, sang ustadz berkata, “Nak, ayah punya satu roti, kamu mau?”, tanya sang ustadz.
“Mau, ayah”, jawab sang anak.
Meskipun roti yang dibeli sang ustaz lebih dari satu, tapi kali ini sang ustaz sengaja bilang cuma ada satu. Sang ustaz hendak menguji, apakah nasihat yang disampaikan tadi benar-benar dipahami sang anak atau tidak.
“Tapi, ayah cuma ada satu roti. Nanti temanmu itu bagaimana?”, sambung sang ustaz.
“Oh iya ya, ayah. Gini aja, ayah, rotinya aku bagi dua. Sepotong untukku, yang sepotong lagi untuk temanku”, jawab sang anak.
Tampaknya nasihat sang ustaz benar-benar masuk di kepala anaknya. Lalu sang ustaz berkata, “Setelah roti ini kamu potong, bagian untuk temanmu itu, kamu yang pilihkan atau mempersilahkan dia untuk memilih sendiri?”.
“Saya pilihkan sendiri, ayah”, jawab sang anak.
Sang ustaz menimpali, “Kalau kamu pilihkan sendiri, nanti bagiannya kamu pilihkan potongan yang paling kecil dari punyamu”.