Menulis, bukanlah aktivitas yang sudah sejak lama saya lakoni. Bisa dikatakan, kesadaran menulis saya muncul pada 2016. Ketika itu saya sudah mahasiswa tingkat akhir studi jenjang S-1, masa-masa menulis skripsi.
Pada masa itu saya merasa menyesal, kenapa nggak dari dulu saya belajar menulis. Atau paling tidak, sejak tahun pertama kuliah, saya sudah mulai menekuni menulis, ikut aktif di komunitas literasi, dan sebagainya.
Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Saya terlalu santai. Jangankan menulis, membaca saja bisa dikatakan sangat jarang sekali. Saya belajar hanya di kelas saja, saat kuliah. Selepas kuliah di kelas, saya tidak memanfaatkan waktu untuk banyak membaca, menulis, maupun ikut kegiatan diskusi.
Ketika masa-masa skripsi itulah baru kemudian saya menyadari betapa pentingnya skill menulis bagi seorang mahasiswa. Andai saja, dulu saya aktif mengasah kemampuan menulis, pasti saya nggak terlalu mengalami kesulitan saat menulis skripsi.
Meskipun agak terlambat, tapi saya bersyukur, kesadaran saya akan pentingnya literasi ini mulai tumbuh. Nah, ketika saya lulus S-1 pada Agustus 2016, saya mulai aktif di komunitas literasi.
Sejak itu, minat baca saya meningkat, saya juga sudah mulai rutin menulis. Di komunitas itu, kami wajib menyetorkan tulisan sepekan sekali. Setelah tulisan disetor, lalu dievaluasi oleh seluruh anggota komunitas.
Di samping itu, di komunitas tersebut juga diadakan diskusi buku sepekan sekali. Sebelum diskusi, kami wajib membaca buku yang akan dibedah sebagai bahan diskusinya. Mau nggak mau, kami wajib membaca agar punya amunisi yang cukup untuk berdiskusi setiap pekannya.Â
Saya bersyukur bisa bergabung di komunitas literasi tersebut. Habitus membaca, menulis, dan diskusi benar-benar tumbuh subur di komunitas itu. Bahkan, di komunitas itu kami membuat website sendiri sebagai ruang untuk kami berekspresi menuangkan ide-ide melalui tulisan.
Menulis Buku Pertama
Pada 22 Juli 2017, saya menikah. Tapi, sebelum tiba hari pernikahan saya itu, saya sempat berpikir ingin memberikan sesuatu yang berbeda di hari pernikahan saya nanti. Lalu, apa yang akan saya persembahkan?
Terus terang, sampai 30 hari menjelang hari pernikahan itu, saya belum terpikirkan, kira-kira apa, ya, yang tidak lazim dibuat orang pada hari pernikahan. Kalau souvenir semacam gantungan kunci, kipas tangan, dan semacamnya itu, saya kira itu sudah biasa dan umum sekali.
Akhirnya, terlintas di pikiran saya untuk menulis buku. Kenapa saya nggak nulis buku aja, ya, sebagai souvenir pernikahan saya nanti? Tapi, apakah cukup waktunya untuk menyelesaikan sebuah buku? Mengingat waktu yang kurang dari sebulan lagi.
Lama saya mempertimbangkan, antara mau menulis atau tidak. Saya pun nekad, memantapkan niat mempersembahkan sebuah buku sebagai souvenir untuk dibagikan ke tamu undangan di hari pernikahan saya.
Saya pun mulai menulis. Setiap hari, pagi-siang-malam, saya tidak berjauhan dengan laptop dan buku-buku referensi. Alhamdulillah, apa yang saya niatkan tercapai. Saya mampu menyelesaikan sebuah buku untuk saya persembahkan sebagai souvenir tamu undangan.
Ada beberapa teman yang saya minta bantuan untuk membuat desain cover dan layout bukunya. Kemudian buku itu saya cetak sebanyak 500 eksemplar. Saya merasa lega, akhirnya saya mampu menulis buku, meskipun isinya sangat sederhana.
Itulah cerita pengalaman saya menulis buku pertama yang diluncurkan di momen paling istimewa dan bersejarah buat saya, di hari pernikahan saya dengan istri tercinta. Buku itu saya beri judul: "Di Bawah Renungan Al-Qur'an".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H