Ada dua hasad yang diperbolehkan. Pertama, hasad kepada hartawan yang dermawan. Kedua, hasad kepada orang berilmu yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya.
Hasad yang demikian ini diperbolehkan karena kita berharap ingin menjadi sepertinya, tapi tak mengharapkan kenikmatan itu hilang darinya.
Inilah yang oleh Imam An-Nawawi disebut sebagai hasad majazi. Sedangkan hasad yang mutlak diharamkan adalah hasad hakiki. Sebab, hasad jenis ini menghendaki hilangnya nikmat atas diri orang lain.
Awas hati-hati. Jangan sampai salah berlaku hasad. Ingat, hasad majazi yang diperbolehkan, bahkan sangat dianjurkan. Tapi, hasad majazi-nya pun jangan cuma setengahnya saja.
Ingin kayanya, tapi dermawannya tidak. Kayanya juga harus benar. Jangan sampai menghalalkan segala cara untuk menjadi kaya. Carilah kekayaan dengan jalan yang dihalalkan dan diridai Allah SWT.
Lalu kita ingin punya ilmu, tapi tak mau mengamalkan dan mengajarkannya. Jadi, hasadnya harus sempurna majazi. Jangan separuh majazi.
Persoalannya, mengapa ada orang yang berlaku hasad hakiki? Padahal hasad yang demikian itu sangat tidak dianjurkan, bahkan harus dijauhi dan ditinggalkan.
Tak perlulah rasanya kita hasad terhadap seseorang dengan berharap tercabutnya nikmat yang ada pada diri seseorang tersebut. Apa untungnya? Yang ada malah hanya menyengsarakan diri kita sendiri.
Orang hasad itu tak akan pernah tenang hidupnya. Sebab, ia menjadi susah apabila melihat orang lain senang. Apabila melihat orang lain senang, dia menjadi susah. Susah-senang. Senang-susah. Pada akhirnya, kesusahan itu akan menyempitkan dadanya.
Orang yang sempit dada, pikirannya pendek dan mudah marah. Itulah tanda-tanda orang yang tak ridha dengan ketetapan Allah SWT.