Tadi malam saya sempat ngobrol sama seorang teman. Saya iseng tanya ke dia, "Haruskah para habib melekatkan kehabibannya itu dalam namanya?". Misalnya, Habib Fulan, dan nama-nama lainnya yang mengikuti setelah kata habib.
Saya lanjut nanya, "Kenapa tidak pakai nama asli sesuai KTP saja?". (Maaf, kalau ada yang kurang berkenan dengan pertanyaan saya tersebut).
Agaknya dia kaget dengan pertanyaan saya. Sejenak dia meresap pertanyaan tersebut.
Lalu dia bersuara, "Iya ya, habib itu 'kan identik dengan keturunan Rasulullah. Terus, tidak semua habib modelnya kayak Rasulullah, terutama soal akhlaknya. Kalau ada habib yang agak kacau akhlaknya, nanti malah seperti mencemarkan nama Nabi".
Dia melanjutkan, "Mending, sembunyikan saja kehabibannya, meskipun asli keturunan Rasulullah. Banyak kok mereka yang beneran habib tapi menyembunyikan kehabibannya. Contohnya, pendiri persyarikatan Muhammadiyah, KH A Dahlan, beliau itu ada darah keturunan Nabi, tapi nggak ada tuh pakai embel-embel habib. Kalau tidak diceritakan orang bahwa KH A Dahlan itu seorang habib, aku juga nggak bakalan tahu ternyata beliau habib".
Saya kira dia berhenti bicara, tapi dia melanjutkan lagi, "Sekarang ini pun banyak juga di antara mereka yang keturunan Nabi tapi menyembunyikan kehabibannya. Misalnya, Profesor Quraish Shihab. Pak Quraish itu asli keturunan Nabi, tapi beliau enggan dipanggil habib, apalagi mencantumkan nama habib ada di deretan namanya. Tahu alasannya?".
"Nda", jawab saya.Â
Teman saya menjelaskan alasannya, "Nah, ini luar biasa. Seharusnya habib-habib yang lain mencontoh ini Pak Quraish. Dengan rendah hati Pak Quraish pernah bilang kalau ilmunya belum cukup mendalam dan akhlaknya belum sesuai dengan apa yang diajarkan agama".
Sedikit agak menaikkan suaranya, teman saya melanjutkan lagi penjelasannya, "Pak Quraish juga pernah mengatakan, tidak usah panggil beliau habib. Ini Quraish Shihab, loh. Seorang ulama, mufasir, paham hadis, paham fikih, dan lain-lain, mau diragukan gimana lagi kalau soal keilmuan. Akhlak pun demikian. Pak Quraish itu santun, lembut, dan rasa-rasanya tidak pernah menghujat atau memprovokasi jamaah dalam ceramah-ceramahnya".
Saya terdiam dan manggut-manggut saja. Pelan-pelan obrolan saya alihkan ke topik yang lain. Tapi dalam hati saya masih mencerna apa yang teman saya sampaikan tadi soal habib.
Saya bergumam dalam hati, "Mungkin ada benarnya juga kalau para habib itu lebih baik menyembunyikan saja kehabibannya itu. Kalau pun ada orang lain yang menyematkan, dicegah saja selayaknya Pak Quraish tadi. Sebab, banyak kekhawatiran-kekhawatiran yang tidak dikehendaki, seperti terjerumusnya masyarakat awam ke dalam praktik perbudakan spiritual."
Saya jadi ingat kata-kata bijak dari Pak Quraish Shihab yang pernah disampaikan beliau: "Jadilah orang yang dikenal karena keindahan akhlak dan karya". Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H