perjalanan naik kereta api ekonomi adalah drama cerita panjang soal keluh kesah. Jadwal yang tidak konsisten, berhenti lama, ruang pengap tanpa AC dengan penumpang yang berjejal, dan pedagang asongan yang mondar-mandir melintasi kaki-kaki yang terjulur kelelahan. Itu cerita dulu. Kini, kereta api di Indonesia telah berevolusi menjadi moda transportasi yang modern, nyaman, dan tepat waktu. Namun, di balik semua kenyamanan itu, ada satu hal yang hilang, komunikasi sosial.
Dulu,Kereta api dulu sering terlambat dan tidak tepat waktu, seperti yang diceritakan dalam lagu Iwan Fals:
Sampai stasiun kereta Pukul setengah dua Duduk aku menunggu Tanya loket dan penjaga Kereta tiba pukul berapa Biasanya kereta terlambat Dua jam mungkin biasa.
Tentu kritik ini sudah berlalu, karena ketepatan waktu adalah target yang harus diprioritaskan oleh manajemen KAI. Tentunya, keselamatan adalah hal yang utama.
Namun, sekarang segalanya telah berubah. Kereta api menjadi moda angkutan favorit dengan ketepatan waktu yang tinggi. Bahkan jika ada keterlambatan karena insiden jalur rusak, terdapat kompensasi kecil sebagai tanda cinta dan permohonan maaf. Meskipun hanya berupa sebotol air mineral, rasanya seperti penghormatan dalam pelayanan yang penuh empati.
Kereta Lokal Cepat, Murah, dan Berkualitas
Dalam perjalananku kali ini, aku mencoba kereta lokal dari Stasiun Wonokromo menuju Mojokerto. Saya menggunakan Commuterline lokal "Dhoho" jurusan Surabaya-Blitar via Kertosono dengan tarif terjauh Rp15.000,- (aplikasi Access milik KAI).Â
Dengan tarif hanya Rp10.000 untuk rute ini, kereta ini menawarkan fasilitas luar biasa: tempat duduk yang nyaman, AC yang sejuk, dan kebersihan yang terjaga. Di pojok gerbong, seorang anak kecil berdendang riang, seakan merayakan kenyamanan yang dirasakannya.
Kereta melaju dengan kecepatan konstan, berhenti di setiap stasiun kecil hanya sekitar lima menit. Aku tiba di Mojokerto pukul 12.02, hanya terpaut dua menit dari jadwal. Ini adalah bukti bahwa transportasi publik kini semakin dapat diandalkan. Namun, suasana sunyi tetap mendominasi. Penumpang lebih memilih berkomunikasi melalui layar daripada berbagi cerita dengan sesama.
Punahnya Jiwa Sosial di Gerbong Kereta
Perubahan ini mengingatkanku pada perjalanan kereta di masa lalu. Dulu, penumpang di samping kita bisa menjadi teman seperjalanan. Percakapan mengalir tentang kehidupan, pekerjaan, atau kampung halaman. Bahkan, perjalanan jauh seperti Surabaya-Jakarta terasa lebih singkat karena cerita-cerita yang dibagi sepanjang perjalanan.