Jika ada fraud, semua data ini seharusnya bisa menjadi pintu masuk bagi penyidik untuk mengungkap pelaku, mulai dari pengukur tanah hingga pejabat yang menandatangani dokumen.
Tapi, mengapa pelaku masih menghilang? Ombak yang beriak seakan menyindir: "Kenapa pengukur tanah tidak dimintai keterangan? Siapa saksi-saksi yang membenarkan riwayat tanah ini?Â
Dan pejabat yang menandatangani sertifikat, apakah mereka hanya sekadar nama di atas kertas atau bagian dari skema besar?" Pertanyaan-pertanyaan ini menggema di tengah arus publik yang haus akan keadilan.
Sistem yang Bermasalah, Jangan Hanya Menghibur Publik
Wahai mafia tanah, apakah kalian sekarang bergeser menjadi mafia laut? Karena pesisir kini bukan lagi sekadar tempat nelayan mencari nafkah. Ia telah berubah menjadi simbol kekuatan materi, jangkar emas, dan perahu megah yang bersinar dalam gemerlap dunia.Â
Masalah ini bukan hanya soal individu, tapi sebuah sistem yang rusak. Namun, sistem yang rusak bukan berarti tidak bisa diungkap.
Ironisnya, yang terlihat saat ini hanya drama tanpa substansi. Publik dibiarkan teralihkan oleh pembongkaran fisik pagar, sementara akar masalahnya tetap tersembunyi.Â
Netizen mungkin terhibur sesaat, tetapi apa arti hiburan tanpa keadilan? Jika hukum hanya menjadi panggung drama, bagaimana rakyat bisa merasa aman?
Laut yang tenang kini bergemuruh, menyuarakan protes: "Kapolri, tangkap pelakunya! Jangan biarkan hukum hanyut bersama arus politik atau kepentingan pribadi."Â
Membongkar pagar bambu tidak akan cukup; kasus ini tidak boleh dibiarkan tenggelam tanpa ujung. Keadilan harus ditegakkan, dan setiap pelaku, dari yang terkecil hingga yang terbesar, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Bongkar Jejak, Jangan Ciptakan Drama Kosong