Kasus pagar laut Tangerang kembali menyedot perhatian publik. Pagar bambu sepanjang 30 kilometer yang berdiri di perairan tersebut telah membuka tabir baru dalam pengelolaan aset negara. Polemik ini tidak hanya menyangkut konstruksi fisik, tetapi juga legalitas sertifikat lahan yang diterbitkan di atas wilayah laut.
Muncul dugaan bahwa mafia tanah, yang selama ini menjadi sorotan, kini telah bergeser ke wilayah maritim. Dengan terbitnya sertifikat atas lahan pesisir laut, terdapat indikasi kuat adanya mafia laut yang merapat ke birokrat.
Efek ekonomi dari pesisir laut tentu sangat menggiurkan, sehingga diperlukan keputusan tegas dari pemerintah, termasuk pengaturan ketat atas penerbitan sertifikat lahan di wilayah pesisir laut. Fakta ini menegaskan bahwa pengelolaan aset maritim kita belum sepenuhnya bebas dari celah-celah manipulasi birokrasi.
Validasi dan Rangkaian Prosedur yang Disorot
Penerbitan sertifikat tanah biasanya dimulai dari tingkat paling bawah, yaitu pejabat desa atau kelurahan, yang bertugas memastikan bahwa riwayat tanah dan bukti-bukti dasarnya lengkap dan sah. Setelah itu, proses dilanjutkan dengan pengukuran dan validasi oleh pihak berwenang, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Namun, dalam kasus ini, validasi yang seharusnya dilakukan secara ketat tampaknya dilonggarkan. Hal ini memunculkan spekulasi tentang "tangan-tangan tak terlihat" yang mempermudah penerbitan sertifikat cacat.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) mengungkapkan bahwa sertifikat ini diterbitkan dengan pelanggaran prosedur, termasuk pengukuran yang tidak sesuai, dokumen yang tidak transparan, dan ketidaksesuaian dengan aturan penggunaan wilayah pesisir. Dugaan adanya praktik manipulatif menjadi perhatian serius dan mengindikasikan adanya fraud birokrasi yang terstruktur.
Perlindungan Hukum Sertifikat
Penting untuk dicatat bahwa pembatalan sertifikat tidak dapat dilakukan dengan mudah. Berdasarkan Pasal 32 ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat tanah yang telah diterbitkan dan memenuhi syarat tertentu tidak dapat diganggu gugat setelah lima tahun. Syarat-syarat tersebut meliputi:
Sertifikat diterbitkan secara sah.
Diperoleh dengan itikad baik.
Dikuasai secara nyata.
Tidak ada keberatan atau gugatan dalam lima tahun terakhir.
Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Tidak bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Dalam kasus ini, meskipun sertifikat tersebut dibatalkan, pemiliknya dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk membela hak mereka. Rangkaian dasar pembatalan tersebut tidak bisa dilakukan dengan asumsi belaka. Cacatnya prosedur harus diproses secara hukum dan didukung oleh bukti yang kuat agar tidak menimbulkan konflik baru.
Tantangan Hukum dan Keputusan Menteri ATR/BPN
Menteri ATR telah mengambil langkah tegas dengan membatalkan sertifikat tersebut. Namun, langkah ini menimbulkan tantangan hukum yang tidak kecil. Gugatan dari pihak yang merasa dirugikan berpotensi memperpanjang polemik ini. Proses hukum yang panjang dan rumit dapat melibatkan berbagai pihak, mulai dari tingkat lokal hingga nasional.
Keputusan untuk membatalkan sertifikat tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan asumsi atau tekanan opini publik. Pembatalan yang terburu-buru justru berisiko kontra produktif, misalnya dengan melepaskan tanggung jawab pidana dari mafia laut. Jika unsur deliknya dianggap batal karena sertifikat sudah dicabut, pelanggaran pidana yang mendasari penerbitan sertifikat bisa saja terabaikan.
Oleh karena itu, ATR/BPN harus memastikan proses hukum berjalan secara komprehensif, terutama jika ada indikasi pelanggaran pidana, seperti fraud teknis, pemalsuan dokumen, atau penyampaian data yang tidak benar.
Proses pidana harus didahulukan untuk membuktikan adanya kecurangan yang melibatkan pihak terkait, termasuk pejabat yang terlibat dalam penerbitan sertifikat. Tanpa langkah hukum yang jelas, pembatalan ini hanya akan menjadi simbol kebingungan dalam tata kelola aset negara.
Kesimpulan Dan Pelajaran
Kasus pagar laut Tangerang adalah pengingat bahwa integritas dan transparansi dalam pengelolaan aset negara harus menjadi prioritas. Semua pihak, dari tingkat lokal hingga pusat, memiliki tanggung jawab untuk memastikan proses yang adil dan sesuai aturan.
Proses hukum yang menyeluruh dan mendalam sangat penting sebelum pembatalan sertifikat dilakukan. Pembatalan sertifikat tanpa didahului proses hukum yang jelas berpotensi menimbulkan dampak kontra produktif, seperti melepaskan unsur pidana dari mafia laut yang terlibat.
Sebagai langkah awal, harus ada pembuktian hukum yang kuat terkait pelanggaran, baik itu fraud teknis, pemalsuan dokumen, maupun penyampaian data palsu. Dengan cara ini, keadilan dapat ditegakkan tanpa meninggalkan celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kasus ini menegaskan bahwa fraud birokrasi dalam pengelolaan pertanahan adalah masalah sistemik yang membutuhkan solusi menyeluruh. Jika tidak segera diperbaiki, kasus-kasus serupa akan terus terulang, memperburuk kepercayaan publik terhadap pemerintah. Pengelolaan aset maritim harus dilindungi dari infiltrasi mafia dan manipulasi birokrasi demi memastikan kedaulatan negara tetap terjaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI