Dalam analisis sebelumnya, dua faktor eksternal sering disebut sebagai penyebab keterpurukan Bukalapak.
Pertama, regulasi yang dianggap kurang mendukung inovasi dan fleksibilitas industri e-commerce di Indonesia.
Kedua, persaingan global yang kian sengit, di mana praktik predatory pricing dari pemain besar menciptakan tekanan berat bagi perusahaan lokal. Namun, opini kali ini mengalihkan perhatian ke faktor internal Bukalapak.
Setelah melantai di bursa saham melalui IPO yang sempat membawa optimisme besar, perjalanan keuangan perusahaan justru menunjukkan tren yang mengecewakan. Kerugian besar yang tercatat pada tahun 2023 menjadi sorotan, mengindikasikan perlunya evaluasi mendalam terhadap tata kelola dan strategi internal Bukalapak.
Melalui pendekatan ini, analisis akan mengurai akar permasalahan internal, termasuk pengelolaan dana IPO, efisiensi operasional, serta keputusan investasi yang berpengaruh pada kondisi keuangan perusahaan saat ini.
Langkah transparan seperti audit forensik menjadi krusial untuk memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan publik dan memulihkan kepercayaan terhadap Bukalapak sebagai barometer bisnis e-commerce Indonesia.
Â
 Analisis Kinerja Bukalapak  2021 s.d 2023
Faktor internal Bukalapak mulai menjadi sorotan sejak perusahaan melantai di Bursa Efek Indonesia pada 2021. IPO Bukalapak merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah Indonesia, membawa harapan besar untuk ekspansi bisnis dan peningkatan kepercayaan investor.
Pada tahun yang sama, Bukalapak mencatatkan kinerja positif dengan pendapatan sebesar Rp3,618 triliun dan pertumbuhan Total Processing Value (TPV) hingga 44%. Laba bersih perusahaan mencapai Rp1,983 triliun, didukung oleh laba investasi sebesar Rp3,935 triliun, menjadikan 2021 sebagai tahun pencapaian besar.
Namun, situasi berubah drastis pada 2023. Meski pendapatan meningkat menjadi Rp4,438 triliun (naik 22,6% dibandingkan 2021), perusahaan mencatatkan kerugian bersih sebesar Rp1,365 triliun.