Bayangkan jika, alih-alih disambut oleh kedai kopi global atau restoran Jepang seperti Hachi Grill, kita disuguhi restoran-restoran khas Nusantara:
Resto Soto Lamongan dengan menu aneka masakan khas Jawa Timur yang kaya rasa.
Pusat kuliner Padang sederhana, dari Kapau hingga Pagi Sore, yang menggambarkan keragaman masakan Sumatera Barat.
Restoran khas dari setiap provinsi -- mulai dari Ayam Taliwang, Rawon Surabaya, hingga Nasi Liwet Solo -- yang menjadi magnet budaya dan kuliner.
Bukan hanya mal, tetapi juga bandara, stasiun, dan ruang publik lainnya. Setiap tempat harus menjadi etalase kekayaan budaya Indonesia, bukan sekadar ruang untuk memamerkan merek asing yang tidak berkontribusi pada identitas bangsa.
Bangkitnya Identitas Lokal
Fenomena Ole-Ole Bali di Malaysia adalah cermin dari sebuah ironi besar: budaya lokal kita dihormati oleh orang asing tetapi sering diabaikan oleh kita sendiri. Ini bukan sekadar masalah ekonomi atau branding, tetapi refleksi dari bagaimana kita memandang identitas kita.
Malaysia menunjukkan bahwa dengan strategi yang tepat, budaya dapat menjadi kekuatan ekonomi sekaligus identitas nasional. Ironisnya, Indonesia memiliki lebih banyak potensi tetapi kurang memiliki keberanian untuk memprioritaskannya.
Menolak Pasif, Membuka Jalan
Indonesia tidak kekurangan potensi budaya untuk menjadi kebanggaan global. Namun, penghargaan atas budaya sendiri harus dimulai di rumah.
Ketika bandara, mal, dan ruang publik kita lebih dipenuhi aroma kopi internasional daripada masakan Nusantara, itu bukan hanya kesalahan sistem, tetapi juga cermin dari pilihan kita.