Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Panglima Koalisi Vs Presidential Threshold, Menakar Stabilitas Politik Indonesia

3 Januari 2025   10:36 Diperbarui: 3 Januari 2025   10:36 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Calon presiden yang bertarung di 2024, Dukungan Parpol Besar (Foto : Kompas.id).

Dalam politik Indonesia, koalisi adalah panglima yang menentukan arah stabilitas pemerintahan. Wacana penghapusan presidential threshold memang tampaknya membuka jalan baru, tetapi realitanya, seorang presiden tetap harus berhadapan dengan dinamika koalisi.

Tanpa dukungan mayoritas di parlemen, seorang presiden bisa saja menang dalam pemilu, tetapi berisiko kalah dalam pemerintahan.

Pentingnya Koalisi dalam Stabilitas Pemerintahan

Apapun sistemnya, koalisi adalah panglima dalam politik Indonesia. Tidak peduli bagaimana cara seorang kandidat memenangkan pemilu, tanpa koalisi, keberlangsungan pemerintahan akan selalu dipertaruhkan.

Bayangkan seorang kandidat independen, sebut saja Bima, berhasil memenangkan pemilu karena visinya yang segar dan dekat dengan rakyat. Bima, tanpa dukungan partai besar, membawa optimisme baru ke Istana.

Namun, ketika mulai menjalankan pemerintahan, ia dihadapkan pada parlemen yang mayoritas diisi oleh partai-partai besar yang sebelumnya menjadi rivalnya. Ketika Bima mengajukan rancangan anggaran untuk program unggulannya, parlemen dengan mudah menolak.

Tanpa dukungan partai besar, ia terpaksa mengubah proposalnya berkali-kali, membuat programnya mandek. Ketidakharmonisan ini pun memicu pengajuan hak interpelasi terhadap kebijakannya.

Bahkan, ada desas-desus pemakzulan yang mulai berhembus karena Bima dianggap gagal menjalin komunikasi politik yang efektif. Dalam situasi ini, meskipun memiliki mandat dari rakyat, kekuatan legislatif yang berlawanan menjadi penghalang utama dalam menjalankan pemerintahan.

Belajar dari Sejarah, Gus Dur dan Dinamika Koalisi

Dinamika politik di era Gus Dur memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya koalisi dalam menjaga stabilitas pemerintahan. Gus Dur, yang memiliki visi besar dan pendekatan progresif, awalnya mendapat dukungan besar saat pemilihan presiden.

Namun, dukungan itu perlahan memudar ketika parlemen yang didominasi oleh partai-partai besar mulai mempertanyakan berbagai kebijakannya. Sebagai presiden, Gus Dur berusaha menjalankan agenda reformasi, tetapi ketidakselarasan dengan parlemen membuat upaya tersebut sering kali terhambat.

Salah satu titik krusial dalam pemerintahannya adalah ketika ia mencoba mengambil langkah-langkah yang dianggap kontroversial oleh para anggota parlemen. Tanpa dukungan koalisi yang solid, berbagai kebijakan Gus Dur menghadapi resistensi kuat di DPR. Hal ini memunculkan konflik politik yang berkepanjangan, hingga akhirnya memaksa Gus Dur turun dari jabatannya.

Kejatuhan Gus Dur menjadi bukti nyata bahwa presiden, seberapa kuat pun mandat yang dimilikinya dari rakyat, tetap memerlukan dukungan dari parlemen untuk menjalankan pemerintahannya dengan efektif.

Kisah Gus Dur ini menjadi pengingat bahwa tanpa koalisi yang kokoh, seorang presiden tidak hanya berisiko kehilangan legitimasi di parlemen, tetapi juga menghadapi ketidakstabilan politik yang dapat menggagalkan visi dan misinya. Oleh karena itu, koalisi bukan sekadar alat politik, melainkan kebutuhan strategis untuk keberlangsungan pemerintahan.

Koalisi, Sebuah Paradoks dalam Politik Indonesia

Koalisi menjadi paradoks dalam politik Indonesia. Tanpa koalisi, seorang presiden bisa kalah di parlemen, sementara jika terlalu bergantung pada koalisi, presiden kerap kehilangan kebebasan untuk menjalankan visi dan misinya. Ini adalah permainan "maju kena, mundur kena" bagi siapa saja yang bercita-cita menjadi pemimpin tanpa dukungan yang cukup.

Namun, bukan berarti tidak ada solusi. Jika presidential threshold dihapus, sistem run-off atau dua putaran dapat diterapkan agar presiden memiliki legitimasi suara rakyat yang kuat. Jika tidak ada kandidat yang mendapatkan suara mayoritas mutlak pada putaran pertama, dua kandidat dengan suara tertinggi akan maju ke putaran kedua.

Pada putaran kedua, pemilih harus memilih salah satu dari kedua kandidat tersebut, sehingga memastikan pemenang memiliki dukungan mayoritas absolut. Sistem ini telah digunakan di Prancis, Brasil, dan Argentina, di mana pemilu dua putaran diterapkan untuk memilih presiden agar legitimasi pemerintahan lebih kuat.

Selain itu, presiden terpilih tetap harus membangun koalisi pasca-pemilu yang didasarkan pada kesamaan program, bukan sekadar pragmatisme politik. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan memastikan program-program kerja dapat berjalan dengan lancar.

Menjaga Koalisi dengan Bijak

Seperti pepatah Jawa, "Ojo kesusu mlayu ning durung ngerti tujuan." Artinya, jangan tergesa-gesa melangkah tanpa memahami konsekuensinya.

Penghapusan threshold mungkin membuka peluang, tetapi politik koalisi tetap menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas pemerintahan. Koalisi adalah paradoks yang harus dikelola dengan bijak. Jadi, apakah Indonesia siap menerima risiko ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun