Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

300 Triliun, Fakta atau Opini?

3 Januari 2025   06:33 Diperbarui: 3 Januari 2025   06:53 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para terdakwa di vonis berbeda berdasarkan peran masing masing  ( Foto Kompas.id).

Media sosial menjadi arena "pengadilan netizen," di mana vonis emosional sering mengesampingkan fakta hukum. Harvey Moeis, yang divonis 6,5 tahun penjara, dianggap tidak menerima hukuman setimpal.

Namun, fakta hukum menunjukkan bahwa Harvey adalah perantara, bukan pelaku utama. Perannya sebagai penyerta (medeplichtige) dinilai sesuai Pasal 55 KUHP tentang deelneming (penyertaan). Sementara itu, pelaku utama seperti direksi PT Timah dihukum lebih berat dengan vonis 8 tahun penjara.

Putusan Vonis Kasus Timah 7 terdakwa ( Beberapa Tautan berita diolah).
Putusan Vonis Kasus Timah 7 terdakwa ( Beberapa Tautan berita diolah).

Keterangan: Hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa sesuai dengan peran masing-masing dalam kasus ini. Tuntutan jaksa tidak mencantumkan kerugian Rp 300 triliun sebagai pengganti, melainkan berfokus pada denda dan penggantian kerugian berdasarkan peran terdakwa.

Konteks yang Hilang

Angka Rp 300 triliun sering dianggap kerugian finansial langsung, padahal itu mencakup kerugian ekologis dan dampak jangka panjang. Kritik terhadap metode perhitungan, seperti yang disampaikan Prof. Sudarsono, menunjukkan perlunya validasi agar tidak menyesatkan opini publik.

Meme dan narasi yang berkembang mencerminkan kekecewaan terhadap sistem hukum. Namun, penting memahami konteks sebenarnya di balik angka Rp 300 triliun.

Perhitungan kerugian ini mencerminkan dampak luas dari penambangan ilegal, tetapi bukan tanggung jawab individu seperti Harvey Moeis.

Keadilan harus berjalan berdasarkan fakta dan peran terdakwa, bukan persepsi publik. Tanpa pemahaman yang benar, kasus ini hanya menjadi sensasi yang mengaburkan kebenaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun