Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Narasi Imajiner Jilid 6, Tawa di Tengah Badai Politik

2 Januari 2025   17:11 Diperbarui: 2 Januari 2025   17:24 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu cerah di Kartasura, Sukoharjo. Aroma sate buntel dan tongseng menggoda siapa saja yang melewati Warung Sate Kambing Mas Di, warung legendaris yang terkenal dengan cita rasa khasnya.

Di salah satu sudut meja, duduk sosok yang tak asing, mantan Presiden Joko Widodo. Bersama Ibu Iriana, beliau tampak menikmati sarapan dalam suasana santai.

Saya hampir tak percaya melihat beliau di sini. Dengan sedikit ragu, saya mendekat dan menyapa. "Pak Jokowi, apa kabar? Tidak menyangka bisa bertemu di sini."

Beliau menoleh, tersenyum ramah, dan mempersilakan saya duduk. "Alhamdulillah, baik, Mas. Lagi nyantai sama Bu Iriana. Sudah coba sate buntelnya belum? Di sini juara," ujarnya dengan nada santai.

Ibu Iriana, yang duduk di sebelahnya, ikut tersenyum. "Kalau saya sukanya sate buntel. Tapi Pak Jokowi itu paling suka tongseng."

Kami bertiga tertawa kecil. Suasana pagi itu benar-benar terasa ringan, meskipun saya tahu ada banyak isu besar yang mengelilingi nama besar beliau.

Setelah beberapa menit berbasa-basi, saya memberanikan diri bertanya. "Pak, soal nama Bapak yang masuk nominasi OCCRP sebagai tokoh terkorup. Bagaimana perasaan Bapak soal itu?"

Beliau meletakkan sendoknya, tersenyum kecil, lalu tertawa ringan. "Hehehe, ya terkorup, korup apa, yang dikorupsi apa? Saya tanya balik, ada buktinya nggak? Kalau cuma tuduhan tanpa dasar, ya saya anggap itu angin lalu."

Nada suaranya tetap tenang, tidak sedikit pun menunjukkan rasa terganggu. "Mas, sekarang ini fitnah dan framing itu banyak. Orang bisa pakai apa saja---NGO, media, atau apapun---untuk bikin cerita yang nggak benar. Tapi saya pikir, biarkan waktu yang menjawab.

Kalau memang ada bukti, ya silakan diungkap."

Saya mengangguk. Cara beliau menghadapi isu besar dengan ketenangan membuat saya kagum. Alih-alih membela diri dengan keras, beliau memilih untuk percaya pada kebenaran yang akan terungkap.

Obrolan berlanjut ke dinamika politik. "Pak, belakangan ini ada riak-riak kecil bahkan gelombang besar, seperti drama politik yang terus muncul.

Apakah menurut Bapak semua ini berdiri sendiri, atau saling terkait seperti simbiosis mutualisme?"

Beliau tersenyum, sambil mengaduk teh di cangkirnya. "Hehehe, itu yang saya tidak tahu, Mas. Saya ini pensiunan, Mas, ingin tenang, makan sate enak, ngobrol santai seperti ini.

Kalau soal itu, biar fakta hukum yang bicara. Kalau memang ada keterkaitan, nanti juga akan terungkap."

Sambil mengaduk sambal  sate buntel, beliau menambahkan, "Yang jelas, siapa yang menebar angin, dia yang akan menuai badai. Kalau ada yang mencoba membuat isu atau framing tanpa dasar, kebenaran pada akhirnya akan muncul.

Saya percaya, rakyat kita itu sudah pintar menilai."

Saya mencoba menggoda, "Pak, ini seperti kejadian gol tangan Tuhan di pertandingan sepak bola antara Inggris dan Argentina tahun 1986 ya? Waktu itu Maradona mencetak gol bukan dengan tendangan, tetapi dengan tangan yang tidak terlihat oleh wasit."

Beliau tertawa, sampai Ibu Iriana pun ikut tersenyum. "Hehehe, jangan samakan politik dengan Maradona, Mas. Saya ini bukan Maradona, yang bisa bikin gol tangan Tuhan.

Semua gol yang tercipta dalam politik adalah hasil kerja sama semua pihak.

Dan saya juga bukan wasit sepak bola, yang kalau salah tinggal pakai Video Assistant Referee (VAR) untuk mengubah keputusan. Negara ini punya mekanisme.

Putusan presiden itu bukan keputusan mandiri. Semua harus disepakati, DPR harus setuju. Kalau tidak, ya tidak jalan."

Pagi itu saya merasa mendapat pelajaran yang berharga. Ada kehangatan dalam cara beliau berbicara, tanpa sedikit pun terkesan defensif atau tersinggung.

Jawaban-jawaban beliau penuh makna, sekaligus menunjukkan bahwa menghadapi badai politik tidak harus dengan amarah atau pembelaan berlebihan.

Ketika sarapan selesai, Pak Jokowi berdiri, menepuk pundak saya, dan tersenyum. "Mas, sate buntelnya cocok kan? Kalau lain kali mampir lagi, coba tongsengnya. Biar tahu kenapa saya suka tempat ini."

Ibu Iriana tersenyum ramah sambil merapikan tas kecilnya. Sebelum pergi ke kasir untuk membayar, Pak Jokowi melambaikan tangan dan berkata, "Sampai ketemu lagi, Mas. Jangan lupa makan enak terus, biar pikirannya segar."

Pagi itu di Warung Sate Kambing Mas Di, saya belajar banyak hal. Tentang bagaimana tawa bisa menjadi tameng di tengah badai politik, tentang pentingnya kerja sama, dan tentang keyakinan bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya.

Di balik cerita tentang tongseng dan sate buntel, ada pelajaran tentang keteguhan hati seorang pemimpin yang tetap tenang meski dikelilingi riak dan gelombang besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun