rasa, perlu drama, dan---yang paling penting---perlu seni untuk menjadikannya berwarna seperti pelangi setelah hujan deras.
Hidup ini bukan soal menjalani hari dengan datar, seperti membaca papan pengumuman di ruang tunggu bandara. Hidup perluKalau hidup hanya fokus pada logika, rasanya akan kaku dan membosankan, seperti suara GPS yang hanya tahu bilang, "Belok kanan 200 meter lagi," tanpa tahu ada hati yang ingin belok kiri karena ada kenangan.
Bayangkan, seseorang berkata, "Aku cinta kamu," dengan nada datar seperti membaca laporan keuangan: "Aku cinta kamu. Laba bersih perasaanku meningkat 20 persen tahun ini." Hambar banget, kan?
Tapi kalau kalimat yang sama diucapkan dengan napas tersengal, raut muka penuh haru, dan dalam desahan berat berkata, "Aaaaaakuuu... cinnnn-taaa... kaaa-muuu..." Wah, langsung bikin hati ikut bergetar, kan? ( di coba ya.... ).
Itulah seni hidup---perpaduan antara logika dan perasaan. Saat logika berkata, "Sudah cukup," hati sering kali membantah, "Coba lagi." Di persimpangan itu, kita kadang butuh tempat curhat.
Tapi ke siapa? AI yang logis tanpa rasa atau mantan yang penuh rasa dan drama? Yuk, kita jelajahi dua pilihan ini, karena setiap opsi punya cerita sendiri.
Curhat dengan AI -- Logis, Cepat, Tapi Dingin
AI adalah pendengar yang nggak pernah lelah, nggak pernah ngambek, dan nggak akan menyindir kita dengan kata-kata pasif-agresif.
Dia selalu siap dengan jawaban logis yang, jujur saja, sering terasa seperti membaca manual peralatan elektronik.
Scene ; Malam larut, kamu duduk di depan laptop sambil mengetik pertanyaan ke AI.
Kamu: "AI, aku nggak bisa berhenti mikirin dia. Gimana caranya move on?"
AI: "Mengatasi rasa kehilangan membutuhkan pendekatan logis. Langkah pertama: Fokus pada pengembangan diri. Langkah kedua: Kurangi eksposur pada kenangan lama, seperti foto atau pesan teks."
Kamu: "Tapi aku masih cinta dia."
AI: "Cinta adalah respons emosional yang bisa dikendalikan dengan latihan mindfulness. Disarankan: Meditasi 10 menit setiap pagi untuk meningkatkan stabilitas emosional."
Datar banget, kan? AI memang pintar dalam memberikan solusi yang praktis dan terukur, tapi sering kali terasa dingin. Di saat hati sedang remuk, solusi logis seperti ini kadang terasa tidak cukup.
Curhat dengan Mantan -- Sarat Rasa dan Drama
Â
Kalau AI terlalu logis, mantan adalah kebalikannya. Curhat ke mantan itu seperti membuka bab lama dalam novel romantis yang berakhir tragis. Ada kenangan yang hangat, tapi juga rasa pahit yang sulit dihindari.
Scene: Kamu dan mantan bertemu di taman tempat kalian biasa duduk bersama saat senja.
Matahari perlahan tenggelam, menciptakan semburat oranye di langit. Kamu duduk di bangku taman, mencoba memulai percakapan dengan mantan yang terlihat tenang tapi canggung.
Kamu: "Kamu masih ingat nggak, tempat ini? Kita dulu sering duduk di sini sambil ngobrolin masa depan."
Mantan: tersenyum kecil sambil menunduk "Iya, aku ingat. Tempat ini selalu bikin aku tenang."
Kamu: "Kalau tenang, kenapa kamu pergi?"
Mantan: menghela napas panjang, lalu menatapmu dengan mata berkaca-kaca "Bukan karena aku nggak mau bertahan, tapi kadang mencintai seseorang nggak cukup kalau kita nggak bisa saling bahagiakan."
Kamu: suara bergetar "Aku masih berharap kita bisa memperbaikinya."
Mantan: perlahan menggenggam tangannya sendiri, seolah ingin menenangkan diri "Aku juga berharap begitu dulu, tapi sekarang... mungkin kita lebih baik belajar dari ini, bukan kembali."
Angin berhembus pelan, dan kamu hanya bisa terdiam. Kata-katanya menyentuh bagian terdalam hatimu. Ada rasa rindu, tapi juga kesadaran bahwa tidak semua yang indah harus dimiliki selamanya.
Curhat ke mantan memang penuh rasa dan drama, tapi risikonya besar. Alih-alih move on, kamu bisa terjebak lebih dalam di masa lalu.
AI, Mantan, atau yang Lain?
Â
Sebenarnya, curhat tidak harus ke AI atau mantan. Kadang, teman sejati, pramugari kehidupan, atau bahkan secangkir kopi bisa menjadi pendengar yang baik. Tapi, setiap pilihan punya konsekuensi.
AI: Memberikan solusi logis tanpa rasa. Cocok untuk yang ingin cepat bangkit tanpa drama.
Mantan: Memberikan rasa dan drama. Cocok untuk yang ingin mengenang sekaligus belajar, tapi risikonya tinggi.
Teman Sejati: Memberikan empati, tapi tetap harus hati-hati agar tidak terlalu bergantung.
Pada akhirnya, baik AI, mantan, atau siapa pun hanyalah alat bantu. Kekuatan untuk move on ada dalam dirimu sendiri. Mau duduk diam meratapi nasib, atau bangkit bergerak maju mencari hidup yang lebih baik, semua adalah keputusanmu.
AI hanyalah logika tanpa rasa. Mantan hanyalah bab lama dalam cerita hidupmu. Dan hidupmu? Itu adalah perjalanan penuh warna yang hanya bisa kamu lukis dengan keberanianmu sendiri. Jadi, jangan serahkan kendali hidupmu ke AI, mantan, atau siapa pun.
Jadilah dirimu sendiri. Percayalah, kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Dan di setiap akhir drama, selalu ada awal yang lebih indah menunggumu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H