Adegan yang tak kalah mengundang imajinasi adalah ketika Sahat membawa pulang oleh-oleh dari Australia berupa vibrator.
Adegan ini jelas menimbulkan tanda tanya besar: pengantin baru kok pakai vibrator, apakah Sahat merasa "kurang kuat" seperti ranjang tua yang berisik? Atau ini semacam pesan moral untuk generasi sekarang bahwa "ada alat bantu untuk hubungan intim"?
Penonton bisa saja menganggapnya sebagai komedi nakal, tetapi tidak sedikit yang melihatnya seperti adegan soft iklan produk dewasa. Kalau begitu, kenapa tidak sekalian ada slogan? "Untuk momen-momen yang tak terlupakan, gunakan Sahat's Vibrator."
Minar menerima hadiah itu dengan ekspresi campur aduk antara bingung dan geli. "Ini serius?" seolah dia berkata.
Adegan ini jelas mencoba menciptakan humor, tapi apakah berhasil? Penonton justru dibuat berpikir terlalu jauh: apakah pasangan ini membutuhkan alat bantu untuk "menjaga kualitas hubungan"? Atau sekadar eksperimen absurd yang terlalu jauh melampaui akal sehat?
Kritik Sosial yang Hilang
Film ini sebenarnya punya ruang besar untuk satire. Mertua yang terlalu ikut campur bisa menjadi alegori bagi pejabat yang gemar mencampuri urusan rakyat tanpa menyelesaikan urusan sendiri. Namun, kritik semacam ini hanya berakhir di angan-angan.
Padahal, jika Raditya mau sedikit lebih berani, dia bisa mengubah film ini menjadi komedi satire yang cerdas.
Bayangkan kalau mertua di film ini memberikan saran seperti, "Coba posisi ini, soalnya saya dan bapak dulu sukses dapat anak dua," itu baru tawa berlapis dari penonton.
Humor bertema seks juga bisa sangat lucu jika disampaikan dengan subtil dan cerdas.