Toilet di sekolah bukan sekadar fasilitas fisik, tetapi juga simbol budaya dan indikator kesehatan masyarakat. Kondisinya mencerminkan sejauh mana masyarakat memandang pentingnya kebersihan dan sanitasi.
Di Indonesia, meskipun kesadaran akan pentingnya sanitasi semakin meningkat, masih banyak sekolah yang belum memiliki toilet yang layak. Hal ini tidak hanya berdampak pada kesehatan siswa, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya yang mendasari perilaku kolektif masyarakat terhadap kebersihan.
Analisis Budaya Kebiasaan dan Refleksi Sanitasi di Sekolah
Nilai gotong royong menjadi salah satu karakteristik budaya masyarakat Indonesia. Namun, lemahnya penerapan nilai ini terlihat dalam kondisi toilet sekolah yang sering tidak terawat.
Toilet yang kotor atau rusak kerap dianggap sebagai tanggung jawab pihak lain, seperti petugas kebersihan atau sekolah itu sendiri. Padahal, merawat fasilitas bersama seharusnya menjadi bagian dari tanggung jawab kolektif.
Kebiasaan sanitasi sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Di daerah terpencil, edukasi sanitasi masih sering terabaikan. Anak-anak cenderung meniru kebiasaan di rumah yang mungkin tidak sepenuhnya higienis.
Budaya sanitasi ini kemudian terbawa ke sekolah, di mana toilet kerap dibiarkan kotor setelah digunakan. Kurangnya edukasi tentang kebersihan toilet menjadi salah satu akar masalah.
Di beberapa komunitas, kebersihan toilet mungkin tidak dianggap sebagai prioritas budaya. Fokus lebih diberikan pada kebersihan pribadi atau rumah tangga, sementara fasilitas publik seperti toilet sekolah sering diabaikan. Hal ini mencerminkan pandangan tradisional yang belum sepenuhnya mendukung pentingnya sanitasi umum.
Budaya sanitasi juga dipengaruhi oleh akses terhadap informasi dan fasilitas. Di perkotaan, toilet sekolah cenderung lebih terawat karena pengaruh modernisasi dan eksposur terhadap standar kebersihan global. Sebaliknya, di pedesaan, keterbatasan sumber daya dan infrastruktur membuat budaya sanitasi berkembang lebih lambat.
Dampak Kesehatan dari Sanitasi Toilet Sekolah